Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Dokter - Pejabat Otoritas Veteriner

Seorang Dokter Hewan | Diidentifikasi oleh Google sebagai Pengarang | Pejabat Eselon III di Pemda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengurai Persoalan Rabies di Indonesia

2 Juni 2023   13:11 Diperbarui: 3 Juni 2023   18:02 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelaksanaan Vaksinasi Rabies di Nusa Tenggara Timur (Sumber gambar: Kompas.id)

Rabies kembali memakan korban. Penyakit yang dikenal sebagai Penyakit Anjing Gila ini dilaporkan telah memakan korban di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hingga Kamis (1/06/2023), dilaporkan ada 107 orang yang diduga terinfeksi rabies karena terkena gigitan anjing. Dari jumlah itu, satu orang diantaranya telah meninggal dunia. Padahal, sehari sebelumnya, kasus gigitan baru mencapai 72 kasus.

Akibatnya, Pemerintah Kabupaten TTS pun telah menutup atau mengisolasi Desa Fenun, di Kecamatan Amanatun Selatan yang menjadi lokasi awal munculnya kasus rabies di Pulau Timor. Bahkan, jika pemerintah tidak melakukan langkah yang tepat untuk mengatasi kasus rabies, bukan tidak mungkin seluruh daratan di Pulau Timor akan tertular rabies. Termasuk, potensi virus itu merambah ke negara tetangga, Timor Leste. Mengingat, penularan rabies sangat cepat dan virulen.

Sehingga tepat apa yang telah dilakukan oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang yang telah menutup Pulau Timor dari lalu lintas hewan pembawa rabies (HPR) seperti anjing, kucing dan kera. Sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia (2/6/2023), Penutupan Pulau Timor dari HPR tersebut sudah dilakukan sejak Selasa (30/5/2023) baik itu melalui jalur laut, udara dan juga melalui pintu lintas batas negara (PLBN).

Persoalan Rabies di Indonesia

Persoalan rabies di NTT ini sejatinya juga semakin memperpanjang daftar kasus penyakit anjing gila di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah gigitan rabies di Indonesia sejak tahun 2018 hingga agustus 2022 sebanyak 381,726 kasus.

Jika dirata-ratakan, maka setidaknya terdapat 76.345 kasus gigitan rabies setiap tahunnya. Atau, jika dirata-ratakan per harinya, maka terdapat 209 kasus gigitan rabies perharinya di seluruh Indonesia.

Sebagai Pejabat Otoritas Veteriner di daerah, penulis menilai terdapat Lima persoalan mendasar yang menjadi catatan dalam pengendalian rabies di Indonesia. Lima persoalan itu adalah:

Pertama, urusan kesehatan hewan (Keswan) bukan menjadi urusan wajib bagi pemerintahan daerah. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), urusan kesehatan hewan masuk dalam urusan pilihan. Keswan masuk dalam sub urusan pilihan pertanian.

Artinya, Pemda tidak memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan urusan keswan. Sehingga dampaknya, urusan kesehatan hewan banyak yang tidak dijalankan oleh pemda. Termasuk, tidak adanya tenaga kesehatan hewan di daerah.

Padahal, persoalan penyakit, apalagi ini menyangkut kesehatan masyarakat, kesehatan hewan sejatinya harus merupakan urusan wajib bagi pemda. Bagaimana mungkin akan menyelesaikan persoalan penyakit hewan jika dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewannya saja boleh ada boleh tidak (pilihan).

Selain itu, dengan semakin meningkatnya Penyakit Infeksi Emerging (PIE) pada manusia. Seperti Flu Burung Clade Baru, Ebola, Hendra Virus, Nipah Virus, SARS Cov, Monkey Pox dan masih banyak lagi yang lainnya, yang lebih dari 75% kasusnya bersifat zoonosis atau penyakit yang disebabkan oleh hewan, maka sudah seharusnya kesehatan hewan ditempatkan pada posisi yang seimbang di tataran pemda. 

Kedua, Tenaga Kesehatan Hewan tidak merata. Sebagai imbas dari tidak dijadikannya Keswan sebagai urusan wajib, maka dampak lainnya adalah tidak meratanya keberadaan tenaga kesehatan hewan di daerah. Bahkan, masih banyak daerah yang tidak memiliki dokter hewan berwenang.

Sedangkan di satu sisi, saat ini hewan telah banyak menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Terbukti, petshop atau toko hewan semakin menjamur dimana-mana. Maknanya, interaksi kasus penyakit pada hewan yang menular ke manusia juga semakin tinggi.

Ketiga, anggaran kesehatan hewan kerap dikucurkan setelah ada kasus. Layaknya pemadam kebakaran, persoalan keswan kerap dinilai hanya akan diperhatikan tatkala ada kasus saja. Seperti kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), kemunculannya kemudian menuntut pemerintah untuk membentuk satgas dan mengucurkan banyak anggaran dalam penanganannya. 

Dapat diartikan, Perencanaan penganggaran untuk pencegahan penyakit hewan, masih sangat minim. Terlebih, SDM kesehatan hewan dan regulasi pemda yang tidak sebagai urusan wajib, semakin memperparah persoalan. Padahal, upaya pencegahan merupakan upaya penting. Mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Keempat, payung hukum (regulasi) tentang persoalan hewan dan kesehatan hewan masih belum optimal. Kalaupun ada, beberapa aturan hukumnya masih menginduk pada aturan hukum yang sudah lama. Seperti Hondsdolheids Ordonantie, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 451 yo Stbl. 1926 Nomor 452 yang hingga kini masih menjadi pedoman dalam penanggulangan penyakit, khususnya Rabies.

Selain itu, Indonesia juga belum memiliki regulasi yang mengatur tentang Sistem Kesehatan Hewan Nasional. Bahkan, urusan kesehatan hewan dan atau urusan kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggungjawab secara nasional terhadap kesehatan hewan, hanya ditempatkan setara dengan eselon II, di bawah Kementerian Pertanian.

Sementara, Pencegahan dan pengendalian rabies pada manusia dan masyarakat menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, sedangkan pengendalian dan penanggulangan rabies pada hewan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, khususnya subdit eselon II tersebut. Sebuah kondisi yang tentu tidak berimbang jika ditinjau dari sudut eselonisasi. 

Kedepan, perlu kita dorong pembentukan Ditjen Kesehatan Hewan tersendiri di bawah Kementerian Pertanian. Mengingat rabies sejatinya juga bukan hewan komoditas peternakan. Sehingga rasanya tidak terlalu relevan jika di bawah kewenangan Ditjen Peternakan.

Kelima, perlu kesadaran bersama bahwa Kesehatan hewan merupakan urusan yang sama pentingnya jika ingin mewujudkan kesehatan masyarakat. Konsep ini dikenal dengan konsep One Health (satu kesehatan). Apalagi, kesehatan hewan ditataran kampus juga masuk rumpun ilmu kesehatan, bukan rumpun ilmu hayat pertanian seperti dalam lingkup kerjanya selama ini.

Semoga bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun