Mohon tunggu...
Doharman Sitopu
Doharman Sitopu Mohon Tunggu... Penulis - Manajemen dan Motivasi

Seorang Pembelajar berbasis etos , Founder sebuah lembaga Training Consulting, Alumni YOKOHAMA KENSHU CENTER--JAPAN, Alumni PROAKTIF SCHOOLEN JAKARTA, Penulis buku "Menjadi Ghost Writer"--Chitra Dega Publishing 2010, Founder sebuah perusahaan Mechanical Electrical (Khususnya HVAC), Magister dalam ilmu manajemen, Memiliki impian menjadi Guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka Bangsaku, Merdeka Kaki dan Perutku

17 Agustus 2021   07:32 Diperbarui: 17 Agustus 2021   07:49 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagiku merdeka adalah bebas dari penderitaan, bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, bebas dari tekanan, bebas dari kesedihan, bebas dari penjajah, bebas melakukan apapun yang kita mau, bebas dari intimidasi, bebas mereguk pengetahuan setinggi langit, bebas pergi kemana saja. Tapi satu hal yang paling saya suka adalah bebas makan apa saja yang kita mau. 

Agar pengertian merdeka ini mudah dipahami baiklah kita sederhanakan melalui jargon "bebas pergi kemana pun, dan makan apa pun". Ya, ini cukup mudah menyatakan kemerdekaan itu dalam bahasa yang mudah dimengerti siapa pun.

Yang pertama, bebas pergi kemana pun. Sepintas kondisi kebebasan yang satu ini (baca : kemerdekaan) memang kelihatannya mudah. Namun bila kita telaah dengan cermat tidak sesederhana kata yang terdiri dari 5 (lima) huruf ini. Pergi. Bagaimana anda pergi kemana pun bila tidak memiliki biaya untuk itu? Bagaimana anda melakukannya tanpa sarana transportasi yang memadai? Lantas?

Tahun 2014 saya beserta keluarga melakukan trip darat ke kampung asal di Sumatera Utara sana (Entah mengapa orang selalu menyebut saya orang Medan...he, he. Padahal kami di kampung, lho). Tujuan saya adalah bersilaturahmi kepada kedua orang tua yang pada saat itu masih hidup. 

Momen seperti ini saya manfaatkan pula untuk mempererat hubungan kedua orang tua saya dengan 3 (tiga) cucunya. Perlu dicatat bahwa perjalanan ke SUMUT haruslah melewati beberapa propinsi, antara lain Privinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan kemudian Sumatera Utara. Kalau tidak salah sekitar 2.222 Km hingga tiba di rumah orang tua.

Apa kisah yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini adalah kondisi jalan yang kami lalui saat itu. Untuk menembus Propinsi Lampung saja kami butuh waktu satu harian untuk kemudian bisa tiba di Sumatera Selatan. Kami tiba di kota Empek-empek itu malam hari. Pada hal kami berangkat dari kediaman di bilangan Gunung Putri Kabupaten Bogor sana pagi hari.  


Oleh karena itu, kami harus menginap dulu di Palembang untuk kemudian pagi harinya kembali tancap gas menuju Privinsi Jambi. Ruas itu saja yang ingin saya ceritakan kali ini. Semoga dalam tulisan berikut bisa saya ulas untuk berbagai perspektif.

Tahun 2020 saya selaku pembelajar enterpreneur memberanikan diri mengikuti sebuah lelang di Tanjung Enim Sumatera Selatan. Puji Tuhan kami dapat memenangkan lelang tersebut, sehingga saat pelaksanaan harus bolak balik Jakarta-Tajung Enim berkali- kali. Kadang pergi menggunakan moda transportasi Udara, kadang melalui perjalanan darat. 

Tapi agar di lokasi lebih leluasa bepergian ke mana saja, akhirnya saya putuskan untuk menggunakan moda transportasi darat, saya nyetir sendiri dari Jakarta ke Tanjung Enim. 

Apa yang bisa saya catat dalam rentang enam tahun itu adalah bahwa ketika saya melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Palembang sangatlah berbeda antara 2014 dengan 2020.  Jika dahulu perjalanan dari Bakau Heuni ke Palembang menghabiskan waktu sekitar 12 Jam, kini bisa ditempuh hanya dalam waktu 4 Jam melalui jalan Tol. 

Bisa lebih cepat 8 Jam dibandingkan lewat jalan arteri biasa. Coba anda bayangkan Jarak 333 Km antara Bakau Hueni - Palembang bisa kita libas dalam waktu 3 s/d 4 Jam.

Setiap kali melakukan perjalanan "suci" dari Jakarta ke Tanjung Enim, perjalanan via Jalan Tol merupakan ritual yang mendebarkan. Itulah sebabnya perjalanan itu selalu menjadi kenikmatan tersendiri buat saya. Nun jauh di sana menunggu tugas mulia untuk diselesaikan, nun dekat di sini tersedia sarana jalan yang luar biasa yang membentang menembus sawah ladang Provinsi Lampung yang begitu luas membentang (Puisi, mode on). 

Terbayangkan bagaimana perjuangan para pekerja untuk membuat jalan ini. Terima kasih untuk anda semua yang tidak saya kenal.

Itulah sebuah pengalaman terkait "pergi" yang memerdekakan buat saya. Kapan pun saya membutuhkan sesuatu di Tanjung enim, maka keesokan harinya sudah tiba di lokasi karena akses tol yang demikian membantu. Khususnya jasa travel yang saban hari selalu tersedia untuk membawa barang barang kebutuhan kami. Akhir kata dalam tempo dua bulan tugas pun selasai ditunaikan. Kembali lagi melakukan ritual suci yakni melintas jalan Tol. Berkendara, bersendiri, sebuah kontemplasi yang berkesan.

Kedua, bebas makan apa pun. Bila Anda bukan orang yang sehat jasmaninya, makan jangan coba coba menjalankan jargon ini. Namun bila anda adalah orang sehat, maka makanlah apa saja yang ingin anda makan, sejauh itu adalah makanan yang menyehatkan dan higienis. 

Namun permasalahannya adalah biaya untuk itu. Berbahagia lah orang yang dapat bepergian kemana saja dan makan apa saja kapan pun dan di mana saja, dengan kondisi finansial yang memadai dan dengan kesehatan yang memadai pula.

Dalam perjalanan melintas Jalan Tol Bakau Heuni Terbanggi Besar Palembang, saya sengaja memperbanyak sesi istirahat agar badan tidak terlalu lelah. Setiap jarak 50 sampai dengan 100 Km, saya usahakan menikmati rest area yang ada. Walaupun kondisi beberapa rest area tersebut masih dalam proses perapihan alias belum benar benar siap digunakan. 

Namun tak masalah bagi saya karna justru kondisi seperti itu yang membuat situasi sedikit berbeda bila dibandingkan dengan suasana rest area Trans Jawa yang lebih siap.

Yang terakhir saya akan ceritakan kepada anda pengalaman makan di rest area yang berjarak sekitar 40 Km dari Penyeberangan Bakau Heuni. Makanannya sih biasa saja, pecel lele. Tapi yang berkesan adalah sambal matahnya yang luar biasa. ketika tiba di rumah, saya ceritakan pecel lele itu ke istri. Ternyata dia juga bisa membuat sambal serupa. Nanti akan saya ceritakan bila racikan itu telah disuguhkan dan berhasil saya nikmati pada kesempatan lain, ya.

Sudah ah. Demikian ekspresi yang sederhana terkait kemerdekaan dari saya. Sudahkah kaki anda merdeka melenggang kemana saja? Sudahkah anda mencicipi berbagai kuliner khas Nusantara yang demikian beragam dengan cita rasa yang luar biasa?Akhir kata, SELAMAT MENIKMATI HUT RI KE 76. MERDEKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun