Mohon tunggu...
Dody Kasman
Dody Kasman Mohon Tunggu... Administrasi - Manusia Biasa

Wong Ndeso yang bukan siapa-siapa. Twitter : @Dody_Kasman

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Mengenang Ayrton Senna lewat "Senna"

1 Mei 2018   03:55 Diperbarui: 1 Mei 2018   04:14 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: telegraph.co.uk)

Hari ini tepat 24 tahun yang lalu, dunia olahraga khususnya balap mobil Formula 1 (F1) kehilangan salah satu pembalap terbaiknya. Minggu, 1 Mei 1994 terjadi peristiwa tragis saat berlangsungnya Grand Prix (GP) San Marino di Sirkuit Imola Italia.

Mobil Williams-Renault yang dikendarai Ayrton Senna menabrak pagar pembatas di tikungan Tamburello. Beberapa saat usai kecelakaan fatal itu, Ayrton Senna dinyatakan tewas akibat cidera parah di kepala.

Kembali saya tergerak untuk mengenang salah satu olahragawan favorit sejak saya masih anak-anak itu. Ada beberapa hal yang menarik untuk diungkap tentang pembalap kelahiran 21 Maret 1960 ini. Terlebih ketika saya kembali berkesempatan menonton film dokumenter "Senna" yang menceritakan perjalanan karir sang legenda hingga akhir hayatnya.

Menyaksikan sosok Ayrton Senna melalui "Senna" kembali menggugah kenangan masa kecil saat pertama kali mengenal balap adu cepat jet darat itu. Ketika itu bagi saya Formula 1 adalah Senna dan Senna adalah Formula 1. Mungkin karena begitu seringnya nama Senna disebut di TV, berbanding lurus dengan seringnya ia menjuarai seri GP F1 hingga mengantarkannya tiga kali menjadi juara dunia F1.

Bagian awal film dokumenter yang disutradarai Asif Kapadia itu mengisahkan permulaan karier balap Ayrton Senna di luar tanah kelahirannya, Brazil ketika ia mulai mengikuti kejuaran dunia Gokart tahun 1978.

Balap Gokart memberi kesan mendalam bagi Ayrton Senna meski kemudian ia lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di F1. Pada beberapa kesempatan Senna menyebut Gokart sebagai "pure racing" atau olah raga balap murni yang belum ada campur tangan politik dan uang. Sementara F1 menurutnya sara dengan politik dan uang.

Namun akhirnya mau tak mau Senna harus bersinggungan dengan isu politik dan uang saat ia memutuskan melanjutkan karier balapnya di F1 tahun 1984. Ia bergabung dengan tim Toleman, tim F1 yang tidak diunggulkan dan belum pernah menang balapan. Meski bergabung dengan tim papan bawah, Senna mampu menunjukkan kualitasnya sebagai pembalap yang patut diperhitungkan.

Di tahun pertamanya sebagai pembalap F1, Senna sudah bisa menyimpulkan bahwa F1 adalah olah raga yang sarat dengan politik dan uang. "Formula Satu adalah politik dan uang. Saat anda merintis karier di sini suka atau tidak suka anda harus berurusan dengan hal-hal seperti itu," demikian ungkapnya usai GP Monte Carlo tahun 1984.

Cukup beralasan Senna melontarkan ungkapan kekesalan tersebut. Dari start di posisi 13 Senna mampu melesat ke posisi 2. Lintasan yang basah akibat hujan deras membuat pembalap sekaliber Nigel Mansell terhenti setelah mobil yang dikendarainya tergelincir dan menabrak dinding pembatas.

Karena kondisi lintasan yang basah dan licin, Alain Prost yang berada di posisi terdepan sempat melambaikan tangan kepada petugas agar balapan dihentikan. Sementara Senna semakin mendekati Prost dengan memangkas jarak 3 detik setiap putaran.

Akhirnya balapan benar-benar dihentikan pada lap 31 dari yang seharusnya 77 putaran dengan Prost di posisi pertama dan Senna di posisi ke-dua. Padahal menurut James Hunt, juara dunia F1 tahun 1976 yang menjadi komentator tamu, tak ada alasan balapan tersebut dihentikan. Bahkan komentator TV Globo, Reginaldo Leme berujar andai balapan dilanjutkan beberapa putaran lagi, Senna pasti berhasil melewati Prost.

Di satu sisi hasil balap tersebut kurang memuaskan bagi Senna, namun di sisi lain sangat membanggakan karena ia bisa naik podium untuk pertama kali di posisi kedua dengan mobil yang tidak diunggulkan. Sejak saat itu Senna disebut-sebut sebagai bintang baru F1.

Tahun 1985 Senna bergabung dengan Tim Lotus, tim yang ketika itu sudah banyak memenangkan seri balap GP F1. Di tahun ini pula Senna pertama kali menjadi juara balap mobil F1 pada seri GP Portugal di sirkuit Estoril.

Tentang gaya membalap Ayrton Senna, John Bisignano, komentator ESPN mengungkapkan hanya satu kata untuk menggambarkannya, yaitu cepat. "Dia bisa membawa dan memaksimalkan mobil melewati kemampuan desainnya. Dia bisa membuat mobil yang dikendarai seolah terbang dan menari melintasi sirkuit," ungkapnya.

Kepiawaian Senna memacu mobilnya di lintasan basah diakui oleh Reginaldo Leme. "Senna sangat hebat ketika balapan dalam kondisi hujan saat kondisi cuaca sangat buruk dan sirkuit menjadi licin, dia punya kelebihan yang tidak dimiliki pembalap lain," papar Reginaldo Leme. Sementara menurut Ron Dennis, Team Principal McLaren, Senna adalah pembalap yang cerdas dan berdedikasi.

Tahun 1988 Senna bergabung dengan McLaren, tim langganan juara dengan pembalap andalannya, Alain Prost, yang juga juara dunia tahun 1985 dan 1986. Di sinilah awal rivalitas Senna dan Prost. Meskipun satu tim, tak dapat dipungkiri jika aroma persaingan sangat terasa.

Bahkan Ron Dennis juga mengakui hal tersebut. "Meskipun mereka tersenyum akrab, bahasa tubuh mereka menunjukkan hal yang berbeda. Alain prost yang posisinya sudah aman di McLaren, sementara Senna adalah ancaman bagi posisinya. Persaingan antara mereka berdua akan jauh lebih menantang dan menarik disimak daripada persaingan dengan tim dan pembalap lain," ungkapnya.

Pada musim 1988 persaingan menuju juara dunia sangat seru hingga harus ditentukan di seri ke 15 pada GP Jepang 30 Oktober 1988. Senna yang sempat tertinggal di posisi 16 karena  gangguan pada mobilnya saat start, akhirnya mampu memenangi GP Jepang dan tampil sebagai juara dunia F1 untuk pertama kalinya.

Musim 1989 hubungan Senna dengan Alain Prost semakin tidak harmonis. Kedua pembalap memperlihatkan gaya yang berbeda. Komentator ESPN, John Bisignano menyebut Ayrton lebih jujur, tapi tidak sebaik Prost yang mendapat keuntungan lain dengan kelihaiannya memainkan politik di dunia olah raga. Terlebih kedekatannya Presiden FIA saat itu yang juga berkebangsaan Perancis, Jan-Marie Balestre.

Perseteruan Senna -- Prost kian meruncing di musim 1989 ketika GP Jepang kembali menjadi penentu gelar juara dunia. Prost akan jadi juara dunia jika Senna gagal finish, sementara Senna masih punya peluang dan harus menang untuk menjaga posisinya aman sampai seri balap terakhir.

Saat itu Prost langsung memimpin di posisi terdepan. Pada lap 46 saat Senna berusaha melewati Prost, mobil mereka bersenggolan. Prost tak dapat melanjutkan balapan, sementara Senna masih bisa melaju.

Meski sempat masuk pit, Senna masih mampu mengejar lawan-lawannya hingga melewati garis fnish di posisi pertama. Kontan saja komentator TV menyebut Senna sebagai juara GP Jepang dengan kemenangan yang fantastis. Namun ternyata tak ada perayaan kemenangan untuk Senna di podium.

Senna justru terkena sanksi diskualifikasi bersama mobilnya karena menurut tim dari FIA, saat kembali ke lintasan ia tidak melewati jalur yang seharusnya. Menurut tim FIA, pembalap tidak boleh menggunakan escape road untuk melanjutkan balapan.

Namun kubu Senna menepis tuduhan tersebut dengan menunjukkan beberapa potongan video balapan terdahulu. Salah satunya rekaman GP Austria tahun 1981 yang memperlihatkan dengan jelas escape route saat itu boleh dilewati bahkan saat balapan normal, tak ada denda dan tak ada diskualifikasi.

Kubu Senna mempertanyakan konsistensi regulasi yang dgunakan FIA untuk menjatuhan sanksi kepada Senna. Pada pengadilan banding, FIA malah memperberat hukuman Senna dengan menjatuhkan putusan membekukan izin balapan selama enam bulan dan denda $100.000,-. Terhadap putusan tersebut Senna merasa diperlakukan tidak adil seolah-olah dirinya pelaku kriminal. Prost akhirnya juara dunia 1989 sekaligus mengakhiri kebersamaannya dengan McLaren.

Tahun 1990 Alain Prost pindah ke tim Ferrari. Namun bukan berarti perseteruan diantara keduanya mereda terlebih ketika juara dunia musim 1990 lagi-lagi harus ditentukan pada GP Jepang tanggal 21 oktober 1990. Posisinya ketika itu, jika Prost gagal finish maka Senna yang juara.

Sempat terjadi beberapa peristiwa menarik jelang balapan, diantaranya Ayrton Senna walkout pada sesi briefing saat Nelson Piquet membahas kembali insiden yang terjadi tahun sebelumnya. Selain itu Senna juga mempermasalahkan poisisi pole position yang menurutnya merugikan karena tidak berada pada posisi racing line.

Saat balapan baru dimulai, Alain Prost langsung melaju di posisi depan. Ketika Senna berusaha mendahului, Prost berusaha menutupi laju mobil Sena hingga terjadi senggolan di tikungan pertama. Keduanya tak dapat melanjutkan balapan, maka jadilah Ayrton Senna juara dunia F1 tahun 1990.

Musim 1991 bisa dibilang musim terbaik dan istimewa bagi Senna. Untuk pertama kalinya Senna menjuarai GP Brazil sejak ia terjun di balap F1. Kemenangan di tanah airnya itu terbilang dramatis sebab ia benar-benar harus berjuang sampai garis finish dengan kondisi fisik yang kelelahan.

Meskipun tahun 1991 adalah tahun terbaik bagi Sennna, di tahun itu juga ia mengalami kecelakan cukup parah pada GP Mexico tanggal 14 Juni 1991. Mobil yang dikendarainya selip kemudian menabrak dinding pembatas dan berhenti pada posisi terbalik. Beruntung saat itu Senna tak mengalami cidera serius. Sejak itulah ia dekat dengan Prof. Sid Watkins, dokter F1 yang menanganinya, bahkan hingga akhir hayatnya.

Juara dunia F1 musim 1991 kembali ditentukan pada GP Jepang di sirkuit Suzuka tanggal 19 Otober 1991. Kali ini Senna harus bersaing dengan pembalap Williams-Renault, Nigel Mansell. Saat balapan memasuki lap ke 8, Nigel Mansell kehilangan kendali dan harus keluar balapan. Dengan demikian Senna tampil sebagai juara dunia musim 1991.

Keberhasilannya meraih gelar juara dunia untuk yang ke-s kalinya itu mengukuhkannya sebagai salah pembalap F1 terbaik sepanjang massa.  Di masa kejayaan Senna tahun 1991, Alain Prost justru dipecat dari Ferarri karena terlalu banyak mengkritik performa mobilnya.  

Tahun 1992 gelar juara dunia direbut oleh pembalap Nigel Mansell. Tak lepas dari teknologi yang digunakan mobil Wiliams-Renault yang serba computerized. Saat itu tidak semua mobil tim F1 punya teknologi semacam itu, termasuk mobil McLaren yang dikemudikan Senna.

Senna sempat mengungkapkan keresahan akibat teknologi baru tersebut. "Saat anda harus berurusan dengan perang elektronik seperti ini, anda bisa tak berdaya sama sekali. Alat elektronik itulah yang bekerja, dan tidak penting siapa yang mengendarai mobilnya. Bukan itu yang saya inginkan untuk meraih gelar juara dunia," ungkapnya.

Musim 1993, dengan mobil yang kalah cepat Senna masih mampu bersaing dengan mobil Williams dan berhasil beberapa kali juara seri GP meski akhirnya Alain Prost yang berhasil menjadi juara dunia F1 1993.

Musim balap 1994 Senna bergabung dengan tim Williams-Renault. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan regulasi dari Federasi Motorsport Internasional yang melarang beberapa peralatan komputer kontroversial yang bisa membantu pembalap.

Di awal musim itu Senna harus menyesuaikan diri dengan tim dan berdaptasi dengan mobil barunya. Senna mengaku belum nyaman dengan mobil barunya yang tak lagi memiliki komponen elektronik sebagaimana digunakan tahun sebelumnya.

Senna sudah memprediksi mobilnya jadi kurang stabil tanpa suspensi yang dikendalikan secara elektronik. Menurutnya, mobil jadi sulit dikendarai dan sangat besar kemungkinan lebih banyak mobil yang keluar lintasan.

Ternyata prediksi Senna justru terjadi pada dirinya sendiri. Pada GP Brazil, 27 Maret 1994, Senna sudah berada di posisi 2  di belakang Schumacher, namun akhirnya harus keluar balapan di lap ke 56. Demikian juga pada GP Pacific, 17 April 1994 lagi-lagi Senna harus keluar balapan.

Bagian akhir "Senna" mengungkap musibah beruntun pada GP San Marino yang boleh dibilang seri balap paling kelam dalam sejarah F1. Tiga hari berturut-turut terjadi kecelakaan fatal yang menewaskan dua pembalap terbaik F1.

Pada kualifikasi Jum'at 29 April 1994, Rubens Barrichello dari tim Jordan mengalami kecelakaan. Mobilnya melayang menabrak dinding pembatas. Beruntung Rubens hanya luka ringan dan shock. Senna sempat menjenguk Rubens saat dirawat usai kecekakan fatal tersebut.

Pada kualifikasi Sabtu, 30 April 1994, Roland Ratzenberger dari tim Simtek mengalami kecelakaan parah. Meski sempat dibawa ke Rumah Sakit, namun nyawanya tak tertolong. Kesedihan menyelimuti sirkuit Imola hari itu, termasuk Senna yang nampak semakin gelisah.

Prof. Sid Watkins yang dekat dengan Senna usai kecelakaan di GP Mexico mengungkapkan, hari itu Senna nampak gelisah bahkan menangis usai melihat langsung kejadian naas yang menimpa Roland. Senna nampak sangat gelisah dan tegang sepanjang akhir pekan jelang balapan. Nyaris tak pernah nampak tersenyum. "Dia memperlihatkan sikap yang bingung, bosan bahkan terlihat sedih,"  kisah Reginaldo Leme.

Bahkan beberapa menit jelang balap tanggal 1 Mei 1994, nampak jelas wajah Senna yang tersorot kamera begitu gelisah. Terlebih saat start baru dimulai, terjadi insiden mobil Pedro Lamy dari tim Lotus dengan kecepatan tinggi menabrak mobil tim Benetton yang dikendarai JJ Lehto dari belakang.

Meski kecelakaan cukup parah namun balapan tetap dilanjutkan. Senna berada di posisi terdepan diikuti Schumacher di posisi kedua. Hingga lap keenam memasuki lap ketujuh terjadilah kecelakaan fatal. Mobil Williams-Renault yang dikendarai Senna melaju dengan kecepatan tinggi menabrak dinding pembatas. Meski sempat dibawa ke Rumah Sakit Bolognna, Senna akhirnya dinyatakan meninggal dunia akibat cidera parah di kepala.

Sampai sekarang, penyebab pasti kecelakaan tragis tersebut masih jadi misteri. Banyak teori yang memprediksi penyebab kecelakaan fatal itu. Mulai dari kondisi mobil, kemudi mobil yang rusak hingga suhu ban yang bisa menyebabkan mobil meluncur keluar lintasan.

Bagian akhir film "Senna" menggambarkan suasana kesedihan mendalam warga Brazil, khususnya Sao Paolo menyambut kedatangan jenazah Ayrton Senna. Mulai dari kedatangan di bandara hingga upacara penghormatan terakhir untuk sang legenda F1 itu.

Meski bukan film full autobiografi, "Senna" mampu memberikan gambaran yang cukup lengkap tentang sepak terjang Ayrton Senna mulai ia meniti karier sebagai pembalap Gokart hingga detik terakhir hidupnya sebagai pembalap F1.

Ada satu kalimat bijak yang sempat saya kutip di pertengahan film yang bisa jadi motivasi bagi kita semua. "Setiap hasil yang baik adalah kemajuan dan menjadi motivasi. Ketika saya punya masalah di suatu balapan, saya selalu melihat balapan berikutnya. Karena mungkin balapan kali ini saya belum berhasil, tapi bisa saja pada balapan-balapan berikutnya akan lebih baik. Itu bisa menutupi balapan kekurangan balapan sebelumnya. Jadi saya harus terus berusaha meningkatkan pencapaian saya," ujar Senna pada suatu kesempatan wawancara.

"Senna" juga mengungkap sisi humanis Ayrton Senna yang terkenal memiliki kepedulian sosial tinggi. "Hidup bisa sangat sulit di Brazil. Brazil punya segala seusatu yang ekstrem dan alam yang fantastis tapi pada saat yang sama juga mengalami banyak masalah, mulai masalah sosial, kemiskinan dan kekerasan sebagai konsekuensinya. Saya mencoba membantu sedikit khususnya untuk anak-anak," kata Senna.

Kakak Senna, Viviane Senna menceritakan, begitu terkenalnya Senna di Brazil banyak yang datang meminta bantuan baik perorangan maupun badan amal dan lembaga sosial. Senna membantu dengan cara yang lebih baik dan terorganisir. Ia mengembangkan sistem yang secara keseluruhan yang teroganisir dan terstruktur untuk membantu rakyat Brazil terutama anak-anak.

Sepeninggal Senna, sang kakak Viviane Senna mendirikan yayasan bernama "The Instituto Ayrton Senna" tahun 1995. Yayasan ini telah membantu pendidikan lebih dari 12 juta anak kurang mampu di Brazil. Alain Prost adalah anggota dewan penasehat yayasan itu.

Meskipun lama bergelut di balap F1, ternyata sosok pembalap yang paling ia kagumi dan paling hebat yang pernah bertarung dengannya bukanlah pembalap F1. Senna justru menyebut nama Terry Fullerton, rekan satu tim sekaligus kompetitornya di era balap Gokart tahun 1978-1980. Menurutnya Fullerton sangat berpengalaman, cepat dan konsisten.

Pada teks di penghujung film disebutkan Ayrton Senna meninggal di usia 34 tahun. Setelah kematiannya, FIA menunjuk Prof. Sid Watkins untuk meningkatkan keselamatan Formula 1. Tapi jika mengikuti perkembangan terakhir, ada satu kalimat yang tidak akurat. Disebutkan "Tidak ada kecelakaan fatal yang terjadi di F1 sejak saat itu. Padahal tahun 2014 terjadi kecelakaan yang menewaskan Jules Bianchi akibat cidera parah pada GP Jepang. Peristiwa tersebut tentu saja tak tercatat di "Senna"sebab film ini dirilis tahun 2010.

Dengan kisah perjalanan karier dan perjuangannya menjadi yang terbaik, sudah pasti sangat banyak yang terinspirasi oleh Ayrton Senna. Tak hanya sesama pembalap Formula 1, tapi juga olahragawan lain bahkan anak manusia biasa-biasa saja seperti saya. Ayrton Senna menginspirasi kita untuk terus bersemangat dalam perlombaan hidup ini.

  Sejarah telah mencatat sosok Ayrton Senna sebagai pembalap yang sangat dihormati dan disegani sesama pembalap Formula 1 seangkatannya, dikagumi dan menjadi "role model" para pembalap generasi berikutnya. Dengan segala warisan prestasi, inspirasi dan semangat yang dicontohkan, semakin mengukuhkan statusnya sebagai legenda balap mobil dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun