Mohon tunggu...
Dody Kudji Lede
Dody Kudji Lede Mohon Tunggu... profesional -

Laki-laki, gagap, sering gugup tapi cuek, Ingin belajar tapi gak pernah sekolah,suka baca tapi gak punya waktu, pekerja keras tapi belum punya kerja, pemalu tapi punya prinsip, slalu mncintai tapi tak pernah dicintai, jarang berdoa tapi takut Tuhan... Saat ini tinggal di Kupang - NTT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intan dan Indonesia

14 November 2016   19:56 Diperbarui: 14 November 2016   20:10 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari minggu, 13 November 2016 sampai sore hari saya hanya tiduran di kost mungil saya di pinggiran kota Kefa sampai siang menjelang. Rasa laparlah yang memerintahkan saya segera keluar dan mencari makan. Kebetulan, kost saya cukup dekat dengan warung makan khas jawa sehingga saya hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba.

Seporsi makanan saya pesan, menikmatinya dengan lekas karena suhu udara yang sangat panas. Sebuah televisi kecil tepat menghadap ke arah saya dari meja kasir tidak saya pedulikan. Acaranya tidak menarik untuk ditonton. Selesai makan, saya lalu membayar dan segera keluar dari warung itu mencari udara terbuka. Tapi udara di luar juga sangat panas. Langit di atas kepala saya sangat cerah, sementara jauh di bagian timur, awan hitam menggantung pertanda hujan telah jatuh di sana.

Saya segera bergegas pergi. Satu-satunya tempat rindang yang bisa memberi kesejukan hanya kantor tempat saya bekerja selama ini. udara di sekitar kantor selalu sejuk karena banyak tumbuhan yang tumbuh subur sebab disiram setiap hari.

Tidak ada orang di kantor, selain penjaga yang saya ajak bercerita tentang hal-hal sepele. Lalu HP butut di saku saya berdering. Ah, hanya misscall dari orang iseng. Saya mengabaikannya, lalu membuka aplikasi facebook. Sekedadr menengok timeline karena sudah hampir seharian penuh saya mengabaikan banyak notifikasi yang muncul.

Dan, status seorang teman membuat saya terperanjat nyaris tak percaya. Ada boom di Samarinda. Di gereja. Korbannya anak-anak. Rata-rata usia balita. Saya belum terlalu percaya. Situs berita langganan langsung saya buka mencari-cari berita tentang boom Samarinda. Dan benar.

Kembali saya membuka facebook. Lalu foto-foto korban mulai menghiasi timeline. Rata-rata foto yang sama yang diposting ulang. Bukan dishare. Sehingga tidak bisa lagi dilacak siapa yang paling pertama mengunggah foto para korban.

Usia korban hampir sama dengan usia Elleora, putri saya. Ini usia di mana seorang anak sedang lucu-lucunya. Bahkan, terkadang semua tingkah sang anak adalah hiburan bagi orangtuanya dan orang-orang di sekitarnya. Saya merasakan benar bagaimana kerinduan pada putri saya tatkala setiap hari minggu malam harus kembali ke Kefa meninggalkan dia dan ibunya sendiri. Rasa rindu itu langsung tumbuh subur bahkan ketika saya baru berencana untuk pergi. Dan rasa rindu padanya selalu hampir tak bisa terbendung, beruntung jaman sudah canggih, sudah ada jaringan telepon yang bisa kami pakai melepas rindu, meski hanya dengan mendengar suaranya. Meski setelah menutup telpon, ribuan kesedihan berkecamuk dalam batin saya.

Sebagai orang tua yang jauh dari anak, saya merasakan betapa kesedihan adalah teman paling setia tatkala malam merangkum hari dan kesepian adalah teman setia. Membayangkan gelak tawa Elleora, pertanyaan-pertanyaannya, cara dia berlari, cara dia mencari perhatian. Sungguh, saya selalu ingin ada di sana berteman ia. Sungguh, tiada kebahagiaan selain melihat dia bertumbuh dalam kebahagiaan di dekap ini. Terkadang, di saat sejauh ini, berita yang paling tak enak didengar adalah jika dia tiba-tiba sakit. Batuk dan pilek adalah teman buruk di masa pertumbuhannya ini. Bukan sekali dua ini terjadi. Dan sudah berulang-ulang saya harus meninggalkan aktifitas kantoran saya hanya agar bisa menemani dia selama masa pemulihannya. Berita bahwa Elleora sakit adalah bencana bagi saya. Tetap berada di kantor sementara anak yang dicintai sedang sakit hanya akan membuat saya sangat tidak produktif. Dan saya, akan melakukan segala hal, agar dia yang saya cintai tidak pernah merasa saya tinggalkan. Elleora adalah segala-galanya bagi saya. Bila ada perasaan di atas rasa cinta, maka itulah perasaan saya baginya.

Elleora tidak kaitannya dengan boom di Samarinda. Tetapi hati saya memiliki ikatan yang sama tatkala melihat anak-anak seusia Elleora harus menjadi korban dari kekerasan yang dengan sengaja kita ciptakan mengatasnamakan agama. Saya bisa membayangkan bagaimana kedekatan orangtua Intan Intan seperti saya dan Elleora. Usia mereka sama. tingkah laku Intan pasti tidak akan jauh-jauh dari yang selama ini saya lihat dari Elleora. Saya, maupun orangtua Intan pasti memiliki kebanggaan yang sama terhadap anak kami.

Saya dan Elleora hanya terpisah jarak. Rindu masih mampu kami bayar dengan canda lewat telepon. Seminggu sekali saya bisa pulang memeluk dan mencium Elleora. Tapi Intan?? Bocah tak berdosa ini telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan ribu duka mendalam bagi ayah dan ibunya. Tidak ada telepon yang bisa dipakai untuk saling berbicara satu sama lain tatkala mereka saling merindu. Tak ada waktu seminggu sekali untuk bertemu. Intan telah pergi. Sangat jauh. Sangat jauh dari ayah dan ibunya.

Intan pergi bukan karena cinta orang tuanya. Tapi jiwanya telah direnggut dengan paksa dan tak berperikemanusiaan. Intan telah pergi sebagai martir. Sebuah bayaran yang sangat mahal dan tak dapat dinilai dengan apa pun hanya karena beberapa orang yang merasa diri paling benar, paling suci secara laknat dan bajingan telah membunuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun