Mohon tunggu...
Dodo Wiyono
Dodo Wiyono Mohon Tunggu... -

Seorang Pemimpi Tulen. Asal dari Klaten. Berencana untuk mencari Full beasiswa S2. Dan berharap suatu waktu dapat menyumbangkan sebuah NOVEL yang saat ini masih saja ditolak Penerbit. Tetap semangat. Be an Author is my dream.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dual Profession (Bagian 1 dari Sebuah Novel "Wonderboys")

7 Februari 2011   17:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SORE ITU ketika sang panas tak lagi begitu menyengat, kurasakan dalam lubuk hati terdalam semua komponen alam begitu bersahabat, begitu intim dan memeluk erat hingga merasuk kedalam sumsum - sumsum tulangku. Ketika sang angin berhembus dengan sepoinya menusuk tepat ke ulu hatiku yang sedang dilanda perasaan luar biasa bahagia. Matahari yang biasanya membakar dunia dengan sengatan panasnya, kali ini aku begitu menyadari sungguh bahwa ia merupakan satu - satunya komponen alam yang mempunyai tugas paling vital, memberi penghidupan, penerangan dan penghangat bagi seluruh makhluk yang menggantungkan hidup terhadapnya di tempat yang biasa kita sebut dengan planet bumi dalam sistem tata surya kita ini. Saat ini, aku tidak sedang mendapat segepok hadiah berjuta - juta rupiah dari sebuah undian lotere tak sengaja, tidak juga karena sedang di mabuk oleh racun cintanya sang Dewi Amor, ataupun lebih -lebih karena merasakan buah nikmatnya dari hasil kerjaku selama 3 tahun lebih dengan diangkatnya menjadi karyawan tetap dari status karyawan kontrak (outsourching). Tidak satu dan yang lainya. Tetapi aku, saat ini begitu terperi sebagaimana semua alam merasakan rasa bahagiaku, menjadi saksi akan dimulainya pencapaian satu impian terbesarku bahkan setelah beberapa tahun berlalu. Ya, hari ini aku mulai kuliah lagi dan menyandang satu status lagi selain sebagai karyawan pabrik PT Surya Keramik Indonesia yaitu sebagai mahasiswa di salah satu sekolah tinggi ilmu administrasi di Banten. Memang ini baru suatu permulaan, pikirku. Tapi suatu permulaan yang bagus untuk mewujudkan kembali cita - cita hidup yang telah lama terpatri, mendarah daging dan tak akan lekang oleh lajunya zaman. Terima kasih ya Allah, aku bersyukur padaMu atas semua karuniamu.

* * *

Maka sore itu, seetelah pulang kerja harian yang biasanya lemah tak berdaya, kehabisan tenaga setelah bekerja seharian hampir 9 jam hilang sudah, semua raib entah kemana tertutup oleh semangatku yang lagi membara, semangat yang telah bertahun lamanya mencampakkanku yaitu semangat mengejar pendidikanku yang telah tertinggal. Semua siap, baju rapi ala mahasiswa baru, sedikit minyak wangi dan sentuhan gel minyak rambut mewarnai penampilan baruku setelah menanggalkan seragam kerja kebesaanku yang memang benar kebesaran. Akupun berangkat dengan tas tenteng hitam besarku yang sebelumnya paling - paling aku gunakan ketika musim mudik kampung tiba.

* * *

Kulambaikan tangan kanan dengan gerak perlahan untuk memberhentikan laju angkot, kemudian naik pas di depan jalan aspal, depan kontrakanku. Aku duduk di pojok kanan belakang sehingga bisa memperhatikan laju - laju kendaraan lainya di belakang angkot yang umurnya pasti sudah tua, lebih tua dari umurku saat ini. Terbukti sang angkot sering terbatuk - batuk jika memulai starter ulang dan ketika mengerem hendak berhenti. Lebih parahnya sang sopir sebagai kemudi utamapun usianya tak lebih muda dari angkotnya ini. Harus mengetuk atap angkot dengan keras plus disertai teriakan yang kencang bila benar - benar mau memberhentikanya, maklum sang sopir pendengaranya agak sedikit tergganggu walaupun si oknum masih mengaku pendengaranya masih setajam sang kelelawar malam. Ya kelelawar malam yang lan - sia ( Lanjut Usia).

* * *

"Srett" Bunyi gesekan ban depan yang mulai menipis tergerus aspal ketika pak tua mengerem mendadak, knalpotpun belakangpun terbatuk - batuk parau hingga bergoyang - goyang turun naik. Akupun tersadar ternyata pak Tua kebablasan telah melewati jembatan untuk memberhentikanya, Ia tak mendengar seruanku untuk berhenti apalagi ketukanku yang menggaung lebih tiga kali. Akupun tersenyum kecut ketika memberikan uang lecek dua lembar ribuan kepadanya. Sang sopir angkotpun terseyum tulus menyadari kelalaianya sehingga memperlihatkan kedua gigi depanya yang ompong. Aku jadi ragu untuk memarahinya tetapi malah hampir tertawa ketika melihatnya.

* * *

Sebuah bangunan cantik berlantai tiga mengundang mata, menusuk mataku memintaku untuk sesegera memelotototinya. Dengan bercat merah dilantai pertama diselingi garis - garis horizontal melintang mengelilingi dilantai dua dan hiasan puncak cat biru cerah agak tua di lantai tiga tepat kira - kira 50 meter lagi di depanku. Merupakan gabungan dua ruko yang menyatu. Itulah kampusku. Kampus baruku yang akan menjadi tempat belajarku. Disampingnya merupakan deretan ruko yang saling mengait satu dan yang lainya, disebelah kananya sebagai sebuah toko serba ada, serba ada dalam makna yang sebenarnya karena selain sebagai tempat makan, juga ada tempat fotokopi, makanan -makanan kecil dan peralatan perkuliahan. Sesudahnya berlanjut satu ruko kecil spesialis tempat makan soto tangkar yang nikmat dengan harga yang murah meriah bagi kantong para mahasiswa dan ada juga sebuah counter pulsa menutup deretan utama disamping kampus kami. Maksudku kampus itu, perasaan itu terbawa karena terasa senangnya. Berbelok ke belakang ada sebuah cabang bank swasta elite dan lembaga kursus bagi para anak SMA yang bergandengan erat satu dan yang lainya seakan tak mau di pisahkan karena mereka dilahirkan dalam waktu dan oleh tangan pembuat yang sama.

* * *

STIA Banten itulah nama kampus itu. Pasti seseorang pun tak akan tahu ketika ditanya itu sekolah yang mana, memang ada sekolah tersebut atau letaknya dimana. Baru semester tiga aku baru akan menjalaninya karena harus melewatkan dua semester awal pertama kuliah di sebuah Lembaga Pengembangan Profesi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah LP3I. Itulah perjanjian yang menguntungkan dari kedua instansi pendidikan tersebut. Dari sebuah periklanan sebuah lembaga tersebut kini menjamur sampai ke pelosok - pelosok kota. Sekitar 50 meter kearah depanya berdiri dengan kokoh namun begitu angkuh nan megahnya sebuah bangunan empat lantai sebagai tempat perbelanjaan dengan sebuah nama yang familiar yang banyak dikira dari bahasa inggris namun ternyata dari bahasa negerinya sang Napoleon Bonaparte, negeri bermenara Eiffel yaitu CARREFOUR. Bangunan itu berdiri dengan terbentang luas didepannya sebuah tempat parkir dengan pohon jarang - jarang seperlunya sebagai pembatas parkir. Sangat luas sekali tempat berparkirnya berpuluh - puluh kendaraan beroda empat. Tempat sekarang aku berjalan, melewatinya menuju ke tempat kampus baru itu tepat searah dengan mataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun