Dapur raksasa yang beroperasi di bawah payung Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sesungguhnya adalah tonggak reformasi pangan nasional. Target skala yang direncanakan menjangkau hingga 82,9 juta penerima setidaknya sampai akhir 2025 dan telah memberikan manfaat sekitar 35,4 juta penerima per Oktober 2025, MBG bukan sekadar program gizi, melainkan sebuah dapur raksasa dengan daya beli yang mampu mengubah peta pasar pertanian Indonesia.
Pertaruhan besarnya adalah, apakah daya beli masif ini akan digunakan untuk memperkuat ketergantungan pangan yang rapuh, ataukah justru menjadi pendorong utama diversifikasi?.
Ketergantungan dan Ancaman Stunting
Tujuan utama MBG adalah memperbaiki kualitas gizi generasi penerus bangsa, terutama dalam upaya menekan angka stunting. Indonesia memang mencatat progres positif dengan menurunkan prevalensi stunting nasional menjadi 19,8 persen pada tahun 2024 menurut data SSGI 2024, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Namun, tujuan masih jauh di depan, mengingat target ambisius ini harus dicapai pada angka 14,2% di tahun 2029.
Upaya mencapai target tersebut terkendala oleh realitas bahwa gizi yang diserap masyarakat masih didominasi oleh komoditas tunggal. Berdasarkan data Bapanas dan BPS 2024, lebih dari 82,13 persen dari total asupan karbohidrat masyarakat bersumber dari beras dan padi-padian. Pola konsumsi yang sangat timpang ini mengeliminasi peran pangan lokal.
Sebagai perbandingan, komoditas yang seharusnya menjadi solusi diversifikasi, seperti umbi-umbian semacam singkong dan ubi jalar, hanya menyumbang sekitar 1,14 persen hingga 1,26 persen dari total pengeluaran pangan rumah tangga.
Nasib jagung pun tak jauh berbeda, meski produksinya tinggi, mayoritas terserap industri pakan ternak yaitu sekitar 9 juta ton di 2024, bukan untuk konsumsi pangan manusia. Pola konsumsi yang bias ini membuat ketahanan pangan nasional rentan, sekaligus mematikan insentif bagi petani lokal untuk menanam komoditas selain beras.
Reformasi Menu: Dari Nasi ke Kekayaan Lokal
Dapur raksasa MBG memiliki kewenangan untuk melakukan reformasi menu secara struktural. Alih-alih menjadikan beras sebagai karbohidrat utama dalam jutaan porsi harian, menu harus secara paksa diarahkan untuk mengoptimalkan keunggulan dan ketersediaan pangan lokal.
Di Nusa Tenggara, misalnya, menu wajib dapat berupa olahan sorgum atau jagung. Di Maluku dan Papua, porsi karbohidrat harus dipimpin oleh sagu. Reformasi menu berbasis kearifan lokal ini tidak hanya meningkatkan keragaman gizi anak, tetapi juga menanamkan identitas pangan daerah sejak dini.
Kunci keberhasilan program ini terletak pada kebijakan Pasar Terjamin Lokal. Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang mewajibkan Unit Pelaksana MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) membeli minimal 70 persen bahan baku segar, mulai dari sayur, buah, protein hewani, hingga komoditas umbi-umbian---langsung dari petani, peternak, dan UMKM setempat.