Mohon tunggu...
Doddi Ahmad Fauji
Doddi Ahmad Fauji Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis Mandiri, penulis puisi, aktivis tani ternak

Another Voice

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kontekstualisasi Qurban

9 Juli 2022   23:53 Diperbarui: 12 Juli 2022   14:38 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kisah yang disampaikan oleh banyak khatib itu dapat ditarik kesimpulan, penerima Qurban yang pertama adalah para tetangga, tanpa memandang SARA. Kecuali jika semua tetangga juga sudah berqurban, dan tidak ada fukoro dan masakin di sekitar masjid tempat Qurban, maka bolehlah qurban di berikan kepada kerabat jauh jaraknya.

Idul Adha disebut sebagai hari kemenangan, sedang Idul Fitri adalah hari kembali fitrah. Kemenangan itu kemudian diritualisasi dalam bentuk pengurbanan, berbagi kebahagiaan, dan saling memberikan perhatian kepada semua tetangga, tanpa memandang SARA.

Manusia punya akal, yang bertugas untuk menjadi pembeda antara yang hak dan batil, antara yang waras dan tidak waras, antara yang common sense dan egoism. Namun seringkali akal terdikte oleh nafsu, oleh syahwat, sehingga muncullah sikap bulus, dan jadilah akal bulus.

Dalam proses Qurban yang tidak dipertegas mustahiknya (penerima), si bulus itu bekerja untuk mempengaruhi akal, sehingga dicarilah akal-akalan atas nama Qurban, bertebaran ajakan berqurban untuk muslim nun di kawasan terpencil, untuk anak yatim di panti anu, dan seterusnya. 

Sekali lagi, jika di sekitar masjid kita sudah tidak ada faqir dan miskin, maka bolehlah qurban diberikan kepada yang lain. Tapi tunggu dulu, sebelum yang jauh, kita masih punya kerabat dekat atau teman, yang mungkin jaraknya jauh. Mereka lebih harus mendapatkan perhatian.

Kenapa Nabi menganjurkan seperti itu? Karena Islam itu menjadi berkah bagi seluruh alam, tanpa mengenal SARA. Bahkan kepada Yahudi (tak disebutkan kaya atau tidak), karena ia tetangga, qurban harus diberikan sebagai bentuk perhatian, berbagi kebahagiaan karena umat Islam sedang merayakan kemenangan.

Di tempat saya, masjid Assunnah kota Bandung, alhamdulillah warga RW kebagian semua, bahkan suka melintas ke RW lain, karena letaknya berbatasan. Ada pemilik kelontongan, sudah kaya dan raya, dan ia pemeluk Nasrani, tetap diberikan qurban, sebagaimana Nabi menitahkan seperti itu.

Juga dalam zakat, infaq, sodakoh, bahwa para penerima-nya yang berhak itu sudah ditetapkan dalam syariat, yang terdiri dari 8 penerima, dan di paling akhir adalah amilin (panitia). 

Hasil penggalangan dana ZIS jika merujuk ke asnaf yang telah ditetapkan, tidak diperuntukkan untuk membangun gedung apalagi mewah, selama masih ada fakir dan miskin, dan pelajar, dan orang yang tenggelam dalam utang, dan seterusnya.

Apa yang diungkap oleh Majalah Tempo terutama terkait gaji amilin yang fantastis di ACT, di sini si bulus akan bekerja untuk mempengaruhi akal. 

Jika misalkan benar umat Islam itu meniru Nabi, disebabkan telah terdapat suri tauladan pada Nabi, maka nabi saja miskin dan Ia menolak sedekah. Tapi amilin jaman sekarang, banyak yang tidak mencontoh Nabi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun