Di tingkat grass roats perundungan agama Islam dilakukan secara berani dan terang-terangan. Sekelompok muslim yang sedang melakukan tradisi keliling membangunkan orang untuk sahur pada bulan suci Ramadan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun tiba-tiba dihadang dan dibubarkan oleh sekelompok pemuda PKI dan tak berani membangkang karena takut. Dalam kesempatan lain mereka mendatangi surau dan menemui orang-orang seusai menunaikan salat sambil bertanya: “Kalau memang Tuhan itu ada, coba berdoa mintakan aku tembakau (semprul) kepada Tuhan!”, dengan maksud bullying, istilah sekarang. Waktu itu orang-orang di kampung biasa melinting sendiri menggunakan pembukus dari kulit jagung dan tembakau murahan untuk merokok. Jika rakyat (muslim) mengadukan suatu perkara ke kelurahan atau kecamatan sudah dipastikan tidak akan mendapatkan keadilan karena Lurah dan Camatnya --belakangan diketahui-- simpatisan atau malah kader PKI. Rasa sakit hati dan dendam yang terpendam karena perasaan takut hanya baru beberapa tahun terjadi, ibarat luka masih menganga dan bernanah ketika peristiwa 65 itu meletus. Itu pun setelah konon di setiap kecamatan diterjunkan beberapa pasukan elite RPKAD guna membangkitkan keberanian rakyat melawan anasir PKI.
Bukan hanya pada benda hukum fisika berlaku bahwa tekanan besar akan menimbulkan panas dan selanjutnya akan meledak, maka pada masyarakat pun hukum itu berlaku. Karena masyarakat juga bagian dari alam. Pusaran dan sumbu tekanan politik itu berada pada para elite politik. (Tipologi Kepemimpinan Nasional) Rakyat hanya menjadi korban, seperti dikatakan peribahasa “gajah bertarung pelanduk mati di tengahnya”. Kalau ditanya siapa yang harus dan paling bertanggung jawab? Ya gajah-gajah itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI