Dengan nada tulus dan semangat berapi-api, Buya Syafii Maarif pernah mengingatkan (bukan menyumpahi) bangsa ini telah kehilangan akal (budi, pen). Sekarang petuah dan pepatah petitihnya tak terdengar lagi. Mungkin sudah letih atau frustasi. Atau barangkali karena memaklumi bahwa suara-suara bernada agama (sudah) tak lagi punya wibawa di negeri warisan nenek moyang Mpu Kanwa ini. Kata bertuah seperti “sabdo pendito ratu” (raja hanya sekali bertitah, pantang ludah dijilat kembali) sudah tak laku lagi. Ulur tarik, maju mundur dalam menentukan sikap dan menetapkan suatu kebijakan negara sudah menjadi suatu hal yang biasa, seperti contohnya tentang Keppres Jamkes Pejabat. Sehingga tak ubahnya anak-anak sekolah Sekolah Rakyat (sekarang SD, sekolah Dasar) dulu ketika belajar dengan menggunakan batu tulis (sabak), sebentar menulis sebentar dihapus. Sementara agama hanya tinggal menjadi kumpulan doa nyaris tanpa makna, kecuali tangis dan raungan sekadar menenangkan hati dan jiwa pribadi-pribadi, para abdi dan hamba Ilahi yang berharap hidup secara salih agar kelak menjadi penghuni surga. Sementara misi khalifah di bumi tidak diurusi atau itu tadi, diurusi tapi tanpa akal (budi). Satu-satunya yang berharga dan pantas dibanggakan sepanjang sepuluh tahun terakhir kehidupan bernegara barangkali adalah tegaknya demokrasi sebatas terjaminnya kebebasan pers dan hak rakyat menyatakan pendapat yang dimanifestasikan melalui perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu). Itupun kalau bukan karena tekanan kepentingan ekonomi asing atau negara-negara adidaya.
Jadi, barangkali ada benarnya jika ada seorang pengamat sosial politik, meski dengan maksud menyindir, memperkirakan pada tahun 2014 mendatang Rumah Sakit Jiwa bakal penuh, sibuk menerima dan melayani pasien. Hari-hari ini layaknya malam “midodareni” bagi calon pengantin menanti hari esok akan menjadi raja sehari. Bukan sibuk untuk menutupi kekurangan di depan suami atau isteri. Tetapi para elit yang berambisi meraih kekuasaan dan mandat rakyat repot bersolek, sibuk berhias dan memoles diri. Ironisnya, yang sering terjadi bodohnya rakyat ini (masih saja percaya dan) mau “dikibuli” dengan iming-iming janji mimpi, ilusi dan fantasi. Karena itu tadi, rakyat rupanya juga ikut-ikutan terkena virus telah kehilangan akal (budi). Pantas saja kalau semua (ya rakyatnya, ya para elitenya) menjadi galau dan “senewen”. Sebab masalahnya sederhana, menakar integritas, kapasitas dan kredibilitas pemimpin tidak bisa dilakukan dan diamati dalam sehari. Bung Karno dan kawan-kawan (mungkin dalam batas tertentu Pak Harto) tercium rekam jejaknya sebagai pemimpin dimulai sejak atau setelah melalui perjalanan sejarah panjang penuh liku dan tantangan dan pengorbanan secara total terhadap hidup dan kehidupannya sendiri.