Mohon tunggu...
Riko Ganteng
Riko Ganteng Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terkait Penyadapan, Kenapa Petinggi Polisi Jadi Polos?

6 Februari 2017   05:38 Diperbarui: 6 Februari 2017   05:41 2966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : Capture berita republika

Masyarakat dibuat tidak habis fikir, kenapa kepolisian mengeluarkan pernyataan yang begitu polos terkait dengan ucapan kuasa hukum terdakwa dugaan kasus penistaan agama Ahok. Sebagai penegak hukum yang mempunyai keilmuan dan pemahaman tentang hukum dan bermacam dugaan pelanggaran hukum, polisi terkesan menyimpulkan sesuatu seperti masyarakat biasa.

"Soal dugaan penyadapan, dalam persidangan pun kami tidak melihat ada kata-kata sadap," kata Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (3/2).

Padahal sebelumnya kuasa hukum Ahok menyatakan dengan jelas bahwa mereka punya bukti percakapan dan mereka detail menyebutkan waktunya 10.16 WIB. Bagaimana seseorang bisa mengetahui begitu detail hingga ke waktu, dan hanya beralasan kalau itu merupakan hasil dari berita dimedia.

Apakah ilmu tentang memahami dan menelusuri perkara polisi sudah luntur secara tiba-tiba luntur?. Lalu, apakah polisi sudah lupa kalau terkait dugaan tersebut bukan merupakan delik aduan dan kejahatan luarbiasa jika memang ada. Kenapa polisi membiarkan tanda tanya ditengah masyarakat? Caranya orang awam juga paham, kalau polisi cukup memanggil kuasa hukum Ahok dan mempertanyakan ucapannya dihadapan polisi.

Menurut pakar hukum pidana Prof. Romli Atmasasmita dalam akun twitternya  "perlu diluruskn memang tdk terucap kata " sadap" di sidang ahok, tapi kata " pembicaraan per tilp" dn " ada bukti" = bukti rekaman, dr mana?.

Sementara itu Prof. Mahfud MD mengatakan dalam akun twitternya "Untuk menyimpulkan bhw Anda makan, Anda tak perlu berkata makan. Anda nyuap nasi ke mulut itu artinya makan meski anda tak berkata makan.".

Dari pemaparan dua pakar hukum tersebut, sangat jelas kalau sesuatu yang terdengar atau dilihat harus ditelusuri. Sama seperti polisi menyelidiki suatu kasus, mereka akan mengejar keterangan seorang saksi atau pelaku dalam mengungkap kasus tersebut. Bukan hanya menerima informasi tersebut secara bulat tanpa melakukan penelusuran lebih detil.

Reaksi yang diberikan polisi juga terkesan sedikit ogah untuk memanggil kuasa hukum Ahok. Bukankah apa yang telah disampaikan itu menimbulkan keresahan, dan membuat gaduh. Apalagi yang disadap itu merupakan SBY, Presiden yang pernah memimpin Indonesia selama 10 tahun. Bagaimana dengan masyarakat biasa, ini yang membuat cemas. Ini bukan perkara mudah, tapi kenapa polisi terkesan menyepelekan.

Terbayang jika penyadapan dijadikan alat politik atau penguasa. Indonesia sebagai negara demokrasi dan menjunjung tinggi HAM akan menjadi negara otoriter yang menindas lawan politik penguasa. Berlawanan atau membahayakan sedikit langsung disikat.

Terkait ancaman hukuman penyadapan, merujuk UU ITE lama kurungannya 10 tahun. Sedangkan merujuk UU Telekomunikasi, ancaman pidananya 15 tahun penjara.

Mahfud yang juga merupakan mantan Ketua MK tersebut mengatakan penyadapan merupakan pelanggaran luar biasa. Indikasi yang kentara adalah pihak Ahok menyampaikan detail waktu percakapan yakni 10.51 dan 10.16. "Penyadapan ini pelanggaran luar biasa," jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun