Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita dari Foto-foto Lama, Dari Peledakan Candi Borobudur Hingga Pembangunan Patung Arjunawijaya

6 Februari 2022   12:10 Diperbarui: 6 Februari 2022   12:12 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Contanc print" foto-foto peledakan Candi Borobudur 1985 (Dokpri)

Selain foto-foto tercetak, baik hitam putih maupun berwarna, saya masih memiliki banyak film negatif. Mungkin sama banyak antara film hitam putih dengan film berwarna. Taksiran lebih dari 100 roll ada dalam kontener saya.

Dulu yang namanya film negatif dihitung per roll. Ada yang isi 36 per roll, ada pula 24. Ada yang ASA (ukuran kecepatan film) 100 maupun di atasnya.

Boleh dibilang memakai film roll amat boros. Untuk satu obyek, kita bisa membidik beberapa kali. Beda dengan film digital yang hasilnya bisa langsung dilihat. Sebaliknya film negatif harus diproses terlebih dulu baru kelihatan gambar yang kita foto. Pertama, melalui cuci foto, lalu cetak foto. Di antara cuci foto dan cetak foto sebenarnya ada yang disebut contact print. Jadi film roll digunting per 6 frame. Film isi 36 bisa menjadi 6 atau 7 bingkai.

Setiap bingkai dideretkan, lalu disinari seperti kita mencetak foto. Di atas film diletakkan kaca agar sinar masuk merata. Setelah itu jadilah foto-foto berukuran kecil. Sering kali dari contact print ini kita memilih foto yang kita anggap terbaik.  

Film negatif berwarna (atas) dan hitam putih (bawah) dilihat dari atas akrilik yang diberi lampu (Dokpri)
Film negatif berwarna (atas) dan hitam putih (bawah) dilihat dari atas akrilik yang diberi lampu (Dokpri)

Scanner

Dulu saya mengambil gambar dengan tiga jenis film, yakni film hitam putih, film berwarna, dan slide (film positif). Masing-masing jenis memiliki keunggulan dan kelemahan. Foto hitam putih terkesan dramatis, sementara film berwarna dan slide terkesan eksotik.

Kemajuan teknologi terus berkembang. Sudah seharusnya memang saya mengalihmediakan film negatif dan slide ke dalam bentuk digital. Sayang saya belum memiliki scanner yang berkualitas. Kemampuan saya dalam hal teknologi digital juga masih minim.

Saya lihat pada beberapa website mancanegara, banyak foto hitam putih masih terlihat bagus. Tentu karena teknik penyuntingan mereka cukup baik. Untuk alih media memang kita perlu kemampuan memakai perangkat lunak seperti photoshop.

Iya dengan teknologi masa kini, foto-foto dengan kualitas seadanya, bisa 'dipermak' menjadi lebih bagus. Bahkan foto hitam putih bisa 'disulap' menjadi foto berwarna. Itulah teknologi fotografi yang semakin berkembang.

Sekarang ini baru foto-foto tercetak yang saya digitalkan. Saya sudah punya scanner sejak lama. Mayanlah foto-foto nostalgia tersebut saya posting di media sosial. Foto-foto tersebut kebanyakan berkenaan dengan kepurbakalaan dan saya foto pada masa 1980-an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun