Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kamera Jadul dan "Harta Karun" Dokumentasi Masa Lalu

1 Maret 2021   08:13 Diperbarui: 1 Maret 2021   18:31 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamera manual analog, generasi sebelum ada kamera digital (Dokumentasi pribadi)

Sejak kemunculan telepon pintar, boleh dibilang hampir setiap orang bisa memotret. Tinggal pilih "shortcut" kamera pada ponsel, maka segeralah kita bisa menjadi fotografer. 

Pada ponsel juga ada pilihan agar kita bisa berswafoto. Bahkan bukan hanya bisa jadi fotografer. Banyak warga juga bisa menjadi jurnalis, sebagaimana istilah jurnalisme warga.

Sebelum dikenal ponsel, hanya sedikit orang yang bisa memotret. Maklum, ada aturan-aturan tertentu pada kamera, seperti ukuran kecepatan film atau ASA (ASA 100, 200, 400, ataukah di atas itu), kecepatan rana (125, 60, ataukah lebih besar/lebih kecil dari itu), dan fokus (agar foto tidak blur atau ada bayangan).

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
"Contact print"

Memang ada kamera yang tanpa mempertimbangkan "kerumitan" seperti itu, dikenal sebagai kamera saku. Karena kecil, pengoperasian kamera itu bersifat autofocus. Jadi bisa langsung pencet tombol "on" tanpa mengatur cahaya dan lain sebagainya. 

Usai memotret, kita harus mencuci film dan mencetak foto di studio foto. Untuk cetakan foto, ada ukuran 3R, 4R, bahkan 10R/lebih.

Dulu ada tiga jenis film yang dikenal dan sering dipakai para jurnalis. Yang pertama, film hitam putih. Setelah itu muncul film berwarna dan slide (film positif). Slide bisa digunakan untuk presentasi lewat alat slide projector.

Saya pernah belajar mencuci dan mencetak foto hitam putih di kamar gelap milik koran Sinar Harapan dan tabloid Mutiara di kawasan Cawang, Jakarta Timur. 

Ada "obat" tertentu untuk mencuci film. "Obat' itu harus dicampur air dengan ukuran tertentu. Film dimasukkan ke dalam tabung hitam. Setelah beberapa menit, maka pada film akan muncul gambar negatif.

Dari film negatif itu bisa dibuatkan contact print. Kita sediakan kertas foto berukuran besar. Lalu film negatif yang dipotong per 5 atau 6 frame disusun di atas kertas. Agar rata, di atas film kita letakkan kaca.Sorot dengan sinar di bawah alat enlarger selama beberapa detik.

Film slide dan alat untuk melihat slide (Dokumentasi pribadi)
Film slide dan alat untuk melihat slide (Dokumentasi pribadi)
Setelah itu masukkan ke dalam cairan pengembang dan cairan penetral. Langkah terakhir adalah membersihkan dengan air mengalir, selanjutnya mengeringkan hasil contact print. Dari contact print inilah, redaktur foto memilih foto-foto yang perlu dicetak.

Film berwarna bisa juga dibuatkan contact print. Banyak studio foto menyediakan jasa tersebut. Sementara untuk slide, harus dibawa ke tempat tertentu untuk diproses dan diberi frame.

Hanya sedikit studio foto yang menyediakan jasa memproses dan mencetak slide. Maklum, warga masyarakat jarang menggunakan film slide.

Dulu film negatif dan slide yang cukup dikenal bermerk Fuji dan Kodak. Khusus film negatif ada lagi Agfa, Sakura, dan Konica. Setiap merk memiliki kelebihan dan kekurangan.

Dua tas yang dulu saya bawa untuk tugas lapangan (Dokumentasi pribadi)
Dua tas yang dulu saya bawa untuk tugas lapangan (Dokumentasi pribadi)
Tiga kamera

Dulu, sebagai jurnalis, saya hampir selalu membawa tiga kamera. Masing-masing berisi film hitam putih, film berwarna, dan slide. 

Terus terang, cukup merepotkan. Apalagi kalau membawa tripod dan mendaki bukit.

Masa 1980-an saya sering jeprat sana jepret sini. Sayang banyak film negatif dan slide saya serahkan ke bagian dokumentasi. 

Saya tidak tahu siapa yang menyimpan atau ke mana "harta karun" itu sekarang. Padahal banyak dokumentasi lalu berharga ada pada Sinar Harapan dan Mutiara.

Namun masih banyak foto berupa film negatif (hitam putih dan berwarna) dan slide ada pada saya. Ada lima kontener yang saya rawat. Lebih dari 100 foto sudah saya pindai (scan). Karena cukup murah, beberapa tahun lalu saya beli printer 3 in 1, yang bisa cetak, scan, dan copy. Semoga bisa segera kebeli scanner yang bisa untuk film negatif dan slide.

Sejak lama kamera manual analog sudah "mati suri" digantikan kamera digital, bahkan telepon pintar. Proses pada kamera manual memang membutuhkan waktu. 

Namun hasil karya tukang jepret masa lalu masih tetap eksis sampai sekarang. Juga diperlukan untuk berbagai penerbitan masa kini. Sekadar gambaran, foto yang saya jepret sekitar 1986 pernah dibayari Rp 500.000 per lembar untuk ilustrasi buku tahunan dan kalender.

Kamera jadul yang manual sudah menjadi bagian dari sejarah. Begitu pula foto-foto jadul, menjadi dokumentasi berharga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun