Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Segera Dirikan Museum Korupsi untuk Memberikan Efek Jera

8 Desember 2020   16:45 Diperbarui: 8 Desember 2020   16:51 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Slogan KPK | tribunnews.com

Bulan-bulan terakhir ini kita dikejutkan oleh penangkapan dua menteri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Pada akhir November Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo kena kasus benih lobster. Pada awal Desember Menteri Sosial Juliari P. Batubara kena kasus bansos Covid.

Sebenarnya bukan hanya kedua menteri yang pernah kesandung korupsi. Sebelumnya pernah ada Bachtiar Chamsyah, Idrus Marham, dan Imam Nahrawi. Belum lagi sejumlah kepala daerah, anggota DPR, dan pejabat dari berbagai institusi.

Entah mengapa, mungkin karena korupsi itu 'enak', jadi sulit menghilangkan perbuatan negatif itu. Budaya korupsi rupanya telah berjangkit di berbagai kalangan, mulai kalangan atas hingga kalangan bawah.

Tulisan saya tentang Monumen Korupsi di Kompas (Dokpri)
Tulisan saya tentang Monumen Korupsi di Kompas (Dokpri)
Belajar dari sejarah

Orang bijak selalu mengatakan, "Belajarlah dari sejarah".  Ironisnya, banyak pihak tidak mau belajar dari sejarah. Data sejarah menunjukkan korupsi sudah ada sejak abad ke-9. Dulu memang korupsi masih kecil-kecilan. 

Sebagai contoh, tanah warga diukur oleh petugas pajak dengan tampah lebih kecil. Dengan demikian si pemilik tanah harus membayar pajak lebih besar. Padahal kalau diukur dengan tampah sesungguhnya, jumlah pajak yang dibayarkan akan lebih kecil. Ada juga info prasasti tentang petugas yang memanipulasi pajak karena mereka perlu dana untuk menjamu pejabat kerajaan. Lihat [tulisan yang ini] dan [tulisan yang itu]. 

Pada masa berikutnya kita memiliki kerajaan besar bernama Majapahit. Di sini berlaku Kitab Agama sekaligus Undang-undang Majapahit. Prof. Slamet Muljana membahasnya dalam buku Perundang-undangan Madjapahit (1967).

Korupsi boleh dibilang mencari tambahan dana dengan cara 'cukup mudah'. Asalkan kita mau 'bekerja sama' dengan rekanan sekaligus 'tulus ikhlas berbagi kue' dengan para sahabat. Bukan hanya itu, perlu tambahan 'uang tutup mulut' agar info tidak tersebar ke luar. Namun malunya itu yang 'gak ketulungan', mungkin bakal sampai ke anak cucu.

Buku Perundangan-undangan Madjapahit, Bhratara, 1967 (Dokpri)
Buku Perundangan-undangan Madjapahit, Bhratara, 1967 (Dokpri)
Mangkrak

Di mancanegara korupsi juga sudah membudaya. Namun mereka berani bertindak ekstrem. Jangan coba-coba melakukan korupsi di Tiongkok atau Korea Utara. Kalau ketahuan, hukuman mati pasti menunggu. Tidak peduli siapa mereka. Tidak peduli orang teriak-teriak HAM. Hukum benar-benar ditegakkan.

Di beberapa negara malah ada wisata jenis baru, yakni wisata korupsi. Para wisatawan diajak melihat bangunan atau proyek yang mangkrak akibat dana yang besar itu 'ditilep' oleh koruptor. Yah boleh dibilang Proyek Hambalang dan tiang-tiang monorel di Indonesia. Pembangunan yang urung jadi. Entah berapa banyak uang yang dihambur-hamburkan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun