Menurut Pak Supratikno, selama ini arkeolog yang mampu menulis untuk publik seluas-luasnya sangat langka. Salah satunya Pak Bambang Budi Utomo atau Pak Tomi.
Tahun lalu Pak Tomi pensiun sebagai peneliti arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Memang nama Pak Tomi banyak dikenal orang karena ia sering menulis di Kompas. Ia pun sering membagikan tulisan populer di Facebook, satu-satunya media sosial yang ia punya. Bahkan bukan hanya beberapa kali, tapi sering. Tulisan Pak Tomi banyak di-save oleh guru-guru sejarah sebagai bahan pengayaan.
Pada 17 Agustus 2020 Pak Tomi menulis tentang "Pemutakhiran Sejarah Indonesia". Menurut Pak Tomi, dalam kitab sejarah yang kita baca, isinya tidak lain tentang kerajaan-kerajaan dan kejayaannya, kecuali dari masa prasejarah diungkapkan mengenai peralatan dan sistem mata pencaharian hidup.Â
Penulisan sejarah dari masa setelah masuknya kebudayaan India, jarang sekali ditemukan hal yang berkaitan dengan sistem mata pencaharian hidup dengan peralatannya, hubungan perdagangan antarwilayah dengan moda transportasinya, dan bagaimana masyarakat hidup dalam lingkungan alam yang berbeda-beda.
"Buku-buku sejarah Indonesia umumnya berisi tentang kerajaan-kerajaan di Nusntara, tahun-tahun pemerintahan raja yang berkuasa, dan tahun-tahun penting peristiwa sejarah. Inilah yang harus dihafal para peserta didik, sangat membosankan. Karena itulah mata pelajaran sejarah sangat tidak populer di kalangan peserta didik," tulis Pak Tomi.
Pak Tomi berharap, Indonesia adalah sebuah negara kepulauan (Archipelagic States) yang terbesar di dunia. Sebagai sebuah negara kepulauan, penulisan sejarah harus menggunakan pendekatan sejarah kebudayaan atau sejarah maritim. Dalam melakukan pendekatan kemaritiman, kita harus melihat laut sebagai pemersatu Nusntara, bukan memisahkan antarpulau.
Seandainya banyak arkeolog membagikan ilmu seperti Pak Tomi, saya yakin banyak masyarakat jadi cerdas. Saya lihat di Kompasiana baru Churmatin Nasoichah, peneliti Balai Arkeologi Sumatera Utara dan Wuri Handoko, Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Utara, yang sudah memiliki banyak tulisan tentang arkeologi. Untuk menulis sebenarnya kuncinya hanya dua: mampu dan mau.*** Â