Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banyak Hasil Penelitian Arkeologi Belum Menyebar ke Masyarakat

30 Agustus 2020   13:07 Diperbarui: 31 Agustus 2020   05:36 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggantian rangka cetakan tiruan Homo sapiens di Situs Goa Harimau, Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Pemasangan kerangka tiruan dilakukan sama seperti kondisi aslinya, sedangkan kerangka asli sebagian telah diangkat dan dipindahkan ke Museum Si Pahit Lidah di Desa Padang Bindu (Aloysius Budi Kurniawan/www.sains.kompas.com)

Seharusnya angka kredit untuk tulisan populer dinilai lebih besar. Sekarang ini nilainya terlalu kecil. Sebaliknya angka kredit untuk tulisan ilmiah cukup besar. Padahal kalau diperbandingkan, pembaca tulisan populer jauh lebih banyak daripada pembaca tulisan ilmiah. Tulisan populer ditujukan kepada masyarakat awam, sementara tulisan ilmiah hanya untuk kalangan terbatas.

Dipastikan, karena nilai angka kreditnya kecil, para ilmuwan arkeologi jarang mau menulis populer. Dulu menulis populer dilakukan di media cetak, seperti koran dan majalah. Sejak 1980-an hingga sekarang, boleh dibilang arkeolog yang mampu menulis populer mudah dihitung jari. Sekarang menulis populer bisa dilakukan lewat laman, blog pribadi, dan blog publik.

Pensiunan Guru Besar Arkeologi UI Pak Mundardjito pernah menyampaikan keprihatinan pada suatu lokakarya yang kemudian dimuat di Buletin Romantika Arkeologi 1983. Saya kutipkan sedikit, "Kenyataan telah menunjukkan bahwa sedikit sekali para ahli arkeologi menulis karangan ilmiah populer mengenai kepurbakalaan. Memang belum begitu jelas apakah para ahli itu tidak cukup mampu menulis karangan sejenis itu, atau ada semacam keengganan pada diri mereka, karena beranggapan akan memerosotkan erudisinya sebagai ilmuwan".

Webinar IAAI Pusat 29 Agustus 2020 (Dok. IAAI Pusat)
Webinar IAAI Pusat 29 Agustus 2020 (Dok. IAAI Pusat)
Belum menyebar

Memang disayangkan banyak publikasi penelitian arkeologi belum menyebar ke masyarakat awam. Selama ini hasil penelitian arkeologi baru sebagian tersebar lewat program Rumah Peradaban di beberapa kabupaten dan kota. Program Rumah Peradaban diinisiasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.  

Angka kredit diperlukan untuk kenaikan pangkat di dua lembaga, yakni pendidikan dan penelitian. Saat ini ada enam lembaga pendidikan arkeologi, yakni UI, UGM, UNUD, Unhas, Unja, dan Unhalu. Sementara lembaga penelitian di pusat adalah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang mempunyai 10 Balai Arkeologi di seluruh Indonesia. Di kedua lembaga itu para arkeolog berstatus tenaga fungsional.

Sejajar dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional adalah Direktorat Purbakala (saya menggunakan nama lama untuk memudahkan perbandingan). Kalau Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berada di bawah Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Direktorat Purbakala berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. Tugas Direktorat Purbakala antara lain memugar candi, menangani pencurian, dll yang bersifat administratif. Nah, inilah bedanya, Pusat Penelitian bersifat fungsional, sementara Direktorat bersifat struktural.

Karena langkanya hasil penelitian arkeologi yang dipublikasikan, maka masyarakat melakukan interpretasi atau penafsiran semaunya. Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman merupakan publikasi yang dinilai 'provokatif'. Namun bukunya laku keras meskipun isinya semacam 'hoaks'. Begitu juga ketika diadakan tur ke Borobudur. Peserta tur cukup membludak.

Kisah lain tentang situs Gunung Padang. Situs itu pernah mendapat perhatian lebih karena berita tentang 'tujuh gerbong emas' dan 'koin purba yang berusia ribuan tahun'. Ternyata masyarakat sangat senang kisah seperti itu.

Pak Tomi (panah panjang) dan Pak Mundardjito (panah pendek)/Foto: Fadhlan
Pak Tomi (panah panjang) dan Pak Mundardjito (panah pendek)/Foto: Fadhlan
Interpretasi Cagar Budaya

Tulisan ini terinspirasi dari webinar yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Pusat, Sabtu, 29 Agustus 2020. Webinar itu bertopik Interpretasi Cagar Budaya untuk Melestarikan Keanekaragaman Budaya Indonesia. Tiga narasumber yang berbicara adalah Pak Supratikno Rahardjo, Ibu Ratna Suranti, dan Ibu Wiwien. Ibu Wiwien yang ini bukan arkeolog. Nama depannya sama dengan Ibu Wiwien yang Ketua IAAI Pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun