Mohon tunggu...
Djohan Suryana
Djohan Suryana Mohon Tunggu... Administrasi - Pensiunan pegawai swasta

Hobby : membaca, menulis, nonton bioskop dan DVD, mengisi TTS dan Sudoku. Anggota Paguyuban FEUI Angkatan 1959

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengamat Politik dari Blue Bird

6 Juli 2018   03:35 Diperbarui: 6 Juli 2018   04:46 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: wingamers.com)

Supaya lebih aman saya memesan taksi Blue Bird satu hari sebelumnya untuk keberangkatan tanggal 4 Juli 2018 pukul 6.30 pagi. Sebab pernah terjadi saya tidak bisa menghubungi call centre Blue Bird karena telponnya sibuk terus. Dan begitu tersambung diberitahukan bahwa pesanan baru dapat dilayani sesudah pukul 9.00 pagi. Saya memesan taksi tidak menggunakan aplikasi MyBlueBird atau lainnya, melainkan melalui telepon genggam lama, Nokia, lebih nyaman dan lebih "normal".

Demikianlah, taksi tersebut siap tepat pada waktunya untuk mengantarkan saya ke Jalan Rasuna Said. Dan seperti biasanya, dalam perjalanan saya selalu menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan pengemudinya. Dan kali ini saya menemukan seorang pengemudi yang lain daripada yang lain.

Menurut pengakuannya, ia baru setahun menjadi pengemudi Blue Bird. Sebelumnya, ia bekerja di salah satu BUMN selama belasan tahun. Ia juga adalah lulusan fakultas ekonomi salah satu universitas swasta di Jakarta.

Saya mulai "memancing"nya dengan masalah pemilihan presiden 2019. Dan ternyata "pancing" saya langsung disambarnya tanpa diduga. Menurut dia, Jokowi adalah salah satu presiden terbaik di Indonesia. Namun, beliau juga tidak luput dari kekurangan yang tampaknya sulit diperbaiki. Jokowi adalah seorang presiden pekerja yang bebas korupsi, sampai anaknya pun berjualan martabak, tidak ikutan mencari proyek pemerintah. 

Menurut pendapatnya, Jokowi pandai dan mampu bekerja dengan baik. Infrastruktur telah dibangun di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi sampai Papua. Tetapi ia tidak memperhitungkan biayanya yang ratusan triliun. Padahal, kemampuan pemerintah untuk membiayainya terbatas sehingga harus berhutang ke luar negeri yang akan bertambah besar akibat nilai rupiah yang makin lemah.

Dan ini akan membebani pemerintah di kemudian hari apabila tidak berhasil memperoleh devisa yang memadai yaitu menggenjot ekspor secara besar-besaran. Sayangnya, menteri-menterinya, terutama menteri perdagangan, menteri pertanian, menteri BUMN tampak kurang berupaya untuk menutup defisit APBN yang makin membengkak. Dengan demikian, program "tol laut" pun tampaknya akan melaut pula.

Sebelumnya, ia adalah simpatisan PDI-P, namun belakangan ia menyatakan tidak lagi karena PDI-P terlalu menggantungkan diri kepada Megawati sebagai pemimpin tunggal yang selalu membawa-bawa nama Bung Karno sebagai andalannya. PDI-P akan berantakan tanpa Megawati. Apalagi kader-kadernya yang duduk di pemerintahan ternyata  terkesan mendukung koruptor yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat.

Seperti Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang mendukung koruptor boleh ikut pilkada bahkan bersedia melantik gubernur terpilih di penjara dengan merujuk kepada yang pernah dilakukan oleh Mendagri sebelumnya. Sedangkan Menteri Hukum dan HAM tampak berupaya memperlemah KPK dengan merevisi KUHP bersama dengan DPR yang memang sejak lama ingin "mengebiri" KPK.

Kelemahan Jokowi juga berkaitan dengan partai pendukungnya, yang notabene adalah juga PDI-P. Bahkan, secara terbuka, Megawati pernah menyatakan bahwa Jokowi adalah seorang "petugas partai". Padahal, seharusnya pernyataan tersebut tidak boleh dibuka kepada publik karena hal ini adalah masalah internal partai. Akibatnya Jokowi terikat oleh PDI-P dan "dikendalikan" oleh Megawati sehingga tidak bisa mengembangkan kepemimpinannya.

Menurut pendapat pengamat politik amatir ini Jokowi dan para politisi yang menjadi kepala daerah atau menteri tidak bisa disalahkan sepenuhnya sebab mereka terikat oleh sistem yang berlaku dalam lingkarannya. Kalau mereka tidak mentaatinya, mereka keluar dari lingkarannya atau diasingkan sehingga jabatan yang mereka pegang atas "jasa baik "partai, misalnya, akan terlepas dari tangannya.

Kalau sistem yang berlaku dalam partainya harus memberikan "mahar" maka mau tidak mau mereka harus memenuhinya. Karena itu korupsi tidak mungkin dapat diberantas, mati satu tumbuh seribu. Demikian juga yang terjadi dengan Jokowi. Kalau Megawati sudah menetapkannya sebagai "petugas partai" maka ia pun harus mentaatinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun