Mohon tunggu...
Fredy Julius Pardamean
Fredy Julius Pardamean Mohon Tunggu... Freelancer - Social Worker, Hobi membaca dan menulis dan travelling

Social Worker, Hobi membaca dan menulis dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Televisi Alay dan Pembangunan Karakter Berbasis Keluarga

24 Maret 2018   22:33 Diperbarui: 24 Maret 2018   22:52 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: moohbe.com

Revolusi penemuan televisi beberapa dekade yang lalu telah mengubah wajah keluarga di tengah-tengah masyarakat, khususnya di Indonesia.

Keluarga inti yang terdiri dari seorang bapak, ibu dan anak-anaknya pada awalnya dan idealnya memiliki hubungan yang dekat dan harmonis. Tradisi tutur lisan menjadi media hubungan komunikasi yang begitu dekat antara orang tua dan anak-anaknya. 

Banyak kisah-kisah dongeng atau legenda dan sejarah kehidupan manusia pada masa lalu yang menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi masyarakat dari jaman ke jaman dan dari keturunan sampai keturunan berikutnya, bahkan kerap kali diceritakan juga hal-hal moral dan etika yang akan turut membentuk karakter generasi anak-anak yang mendengarnya.

Begitu juga dengan media-media tulisan dari yang kuno seperti daun lontar dan sejenisnya sampai ditemukannya kertas, lalu penemuan radio sebagai media elektronik audio turut berjasa menyampaikan berita dan pesan-pesan pendidikan dan pengajaran yang memperkuat sendi-sendi ketahanan keluarga sebagai salah satu pilar berdirinya masyarakat yang kuat dan mandiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Awal mula munculnya radio dan televisi ikut menyiarkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya, sehingga generasi yang berikutnya bertanggungjawab untuk meneruskan pengembangan karakter bangsa dan masyarakat berbasis keluarga.

Hanya disayangkan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi media elektronik dengan menjamurnya stasiun-stasiun televisi swasta -- setelah sebelumnya dimulai dengan kehadiran stasiun Televisi Republik Indonesia -- pada era tahun seribu sembilan ratus sembilan puluhan tidak diimbangi dengan komitmen untuk terus menerus berinovasi menghadirkan program-program televisi yang mencerdaskan bangsa. 

Memang pada awalnya beberapa mata program stasiun televisi swasta ikut mendidik masyarakat yang menyaksikannya, terutama untuk kalangan anak-anak, baik program yang bermuatan pendidikan formal dan acara-acara lainnya yang bermuatan nilai-nilai moral didalamnya. Betapa berbahagianya keluarga-keluarga tertentu pada waktu itu karena dapat mendidik anak-anaknya dengan program-program televisi yang mempunyai bobot nilai-nilai moral yang bermutu melalui penampilan artis-artis yang menjadi teladan.

Seiring berjalannya waktu, tuntutan mencapai rating tinggi dan keuntungan yang lebih besar ikut mempengaruhi pemilik beberapa stasiun televisi swasta untuk mengubah program-program televisi yang dapat menjangkau pasar penonton yang lebih luas tanpa menghiraukan lagi muatan-muatan moral dan pendidikan yang bermutu didalamnya. 

Acara sinetron yang semakin menjamur (baik ide orisinil dari sutradara lokal atau meniru film-film dari luar negeri yang lagi populer) yang menampilkan jalinan cerita dan karakter tokoh yang kurang mendidik, infotainment-infotainment yang mempertontonkan kehidupan beberapa selebritas Indonesia yang tidak dapat menjadi teladan, dramatisasi beberapa acara reality show yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat yang menontonnya terutama dari kalangan generasi muda, dan masih banyak program yang lainnya.

Sangat disayangkan figur beberapa artis tertentu yang cenderung alay dan mengabaikan dampak program acara televisi yang ikut dibintanginya akan menimbulkan dampak negatif dan merusak kalangan generasi muda masa depan Indonesia. 

Berita-berita kriminal tertentu yang disajikan di media cetak dan elektronik lokal dan nasional menjadi bukti betapa hebatnya kerusakan yang diakibatkan oleh kurangnya komitmen beberapa pemilik industri pertelevisian dan artis-artis tertentu dalam mendukung pendidikan yang telah dikerjakan di dalam keluarga dan juga di sekolah-sekolah (formal dan non-formal) dan di komunitas kerohanian agama-agama yang ada di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun