Motif Kawung
Dalam khasanah sejarah motif kain batik, motif kawung telah dikategorikan sebagaik salah satu pola hias tertua, yang bahkan telah tergambarkan pada sebuah arca Parvati pada abad ke 8 masehi. Kraton Yogyakarta telah menerapkan aturan penggunaan motif kawung yang hanya diperuntukkan bagi Sultan, tepatnya pada masa Kanjeng Sultan Hamengku Buwana II. Yang termasuk menjadi awisan atau larangan diantaranya adalah motif Kawung Byur, Kawung Kemplang, Kawung Prabu Ceplok Gurdha. Sedangkan kain jarik dengan motif Kawung Picis dapat dikenakan oleh seluruh Abdi Dalem, namun dengan ketentuan khusus yaitu tidak polosan atau harus terdapat ornamen-ornamen lain yang bukan kategori awisan.
Â
Motif Sawat dan Semen
Sejak masa pemerintahan Kanjeng Sultan Hamengku Buwana II, ragam motif Sawat dan Semen telah menjadi motif batik larangan di Kraton Yogyakarta. Aturan ini telah tertulis dengan jelas di dalam arsip Kraton Yogyakarta yang mengatur perihal penggunaan kain di dalam Kraton (Add Mss 12303 koleksi British Library), "serta jenis kain jarik yang berupa larangan adalah batik Sawat. Segala macam batik yang bernama Sawat dilarang. Batik Parang Rusak, batik Semen, batik Kawungsari, batik Udan Riris, batik Cumengkirang, batik Huk, dan batik Sembagen Ombaking Toya.".
Adapun di dalam Kraton Yogyakarta yang diperkenankan menggunakannya hanyalah keluarga Sultan saja. Motif Semen Naga Raja misalnya, boleh digunakan oleh Sultan yang bertahta dan keturunannya (Putra Dalem).
Motif Lerek (Udan Riris dan Rujak Senthe)
Motif Udan Riris telah berulangkali mendapatkan 'catatan khusus' dalam penggunaannya. Aturan penggunaan motif Udan Riris sebagai motif awisan telah ditetapkan sejak zaman Kanjeng Sultan Hamengku Buwana II, dipertegas kembali pada masa Sultan Hamengku Buwana VII dan Sultan Hamengku Buwana VIII. Menurut aturan yang berlaku, motif ini hanya boleh dikenakan oleh Sultan yang bertahta dan keturunan Beliau dengan ketentuan berstatus Wayah Dalem ke atas.