Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Hidup Merdeka Tanpa WA

14 Januari 2021   20:03 Diperbarui: 16 Januari 2021   04:26 2703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WA Memasung Kebebasan Kita (Sumber: eratekno.com)

Baru-baru ini jagad Maya kembali dihebohkan oleh penggabungan data WA ke FB sebagai konsekuensi bergabungnya mereka. Sontak kabar ini bikin panik para pengguna WA, sebagian tampak pasrah, sebagian coba beralih ke aplikasi lain seperti telegram.

Serba salah memang, di satu sisi kita sudah terbiasa berkomunikasi via WA, di sisi lain ada informasi yang sebenarnya merupakan privasi bagi penggunanya seharusnya tidak boleh disebarluaskan atau dibagikan dalam platform lain.

Terlepas dari itu semua, kita memang sudah sangat ketergantungan dengan medsos terutama WA, FB, Twitter, IG, dan sebagainya. Jangankan sehari, sejam tidak bukapun rasanya ada yang kurang.

Kadang jari-jari gatel kalau tidak like, share, atau sekedar kasih komentar, ngegosip, ngomongin orang lain.  Informasi mengalir deras nyaris tanpa terkendali bagai air bah yang mengalir kencang. Hoax atau bukan nomor sekian, yang penting terlihat eksis di medsos, apalagi kalau bisa pansos.

Sadar atau tidak sadar, kita sudah diperbudak oleh medsos. Kemerdekaan kita sudah terbelenggu oleh benang kusut informasi yang silih berganti masuk tanpa sempat lagi memfilter apakah info tersebut benar atau tidak.

Nyaris setiap menit, bahkan detik, dentingan notifikasi berbunyi menandakan ada info baru yang masuk. Tak peduli siang atau malam, hari kerja atau libur, sudah menjadi kewajiban bahkan mungkin ritual kalau info yang masuk harus direspon walau hanya sekedar like atau share, syukur-syukur sempat kasih komentar.

Kemajuan teknologi di satu sisi memang sangat membantu, namun di sisi lain justru malah sangat mengganggu. Kadang lagi enak-enak tidur tiba-tiba ada notifikasi masuk, mau jawab kadang malas tapi tidak dijawab nanti tersinggung si pengirimnya.

Kadang pengirimnya juga tidak punya etika, mengirim berita tengah malam saat orang tertidur lelap, isinya provokatif bahkan kadang hoax yang tidak difilter lagi. Apalagi kalau topiknya seru, gemes rasanya kalau cuma dibaca saja tanpa ikutan komentar. Jari-jari ini langsung refleks me-reply info yang masuk walau kadang belum seluruhnya dibaca dengan baik.

Sebagai orang yang terlahir sebagai generasi X, ingin rasanya sekali-sekali menikmati kebebasan seperti masa kecil dulu. Bermain dengan tetangga, hujan-hujanan, menikmati udara segar, tidur nyenyak, tanpa terganggu deringan notifikasi yang memekakkan telinga.

Dulu orang menggunakan telepon hanya untuk urusan penting saja karena pulsanya mahal. Kalau mau murah harus antri di telepon umum, kadang kalau pengen hemat lagi uang logamnya dilubangi dan dikasih tali biar kalau waktunya habis (per 3 menit) bisa dicemplungkan lagi koinnya.

Dari segi biaya tarifnya jauh lebih murah WA, cukup langganan paket data, silakan pakai sepuasnya. Dulu sekali telepon saja 50 Rupiah per 3 menit kalau lokal dan 150 Rupiah per 6 detik kalau interlokal, dengan kurs Dollar masih 2500 Rupiah.

Bayangkan kalau dihiatung kurs sekarang, jelas jauh lebh mahal daripada menggunakan WA. Apalagi kalau berkirim surat, biaya perangkonya paling murah 300 Rupiah dan sampainya bisa seminggu lagi, kecuali kilat khusus dengan harga 2000 Rupiah.

Dulu orang tua tidak khawatir anaknya pergi jauh dan tidak memberi kabar setiap hari. Paling banter sebulan sekali berkirim surat, atau saat ada wartel paling menelepon seminggu sekali. Sekarang jangankan sehari, sejam saja tidak WA rasanya cemas dan khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada anaknya. Apalagi ada fasilitas video call, rasa penasaran makin meningkat kalau tidak melihat langsung wajah anaknya. 

Dulu informasi hanya bisa diperoleh dari televisi, koran, dan radio. Berita hanya bisa diperoleh dari tiga media tersebut dan biasanya relatif seragam, nyaris tidak ada kontroversi. Paling kalau mau bergosip janjian dulu di warung kopi tetangga, ngerumpi hingga larut malam.

Sekarang informasi berseliweran di grup-grup WA, isinya macam-macam dan saling bertentangan hingga sering menimbulkan kontroversi. Apalagi bergosip sangat bebas merdeka saling komentar di grup tanpa harus ketemu muka.

Rasanya hidup lebih bebas dan nikmat, pergi kemana saja kapan saja tanpa ada gangguan notifikasi WA. Paling-paling cuma ketinggalan informasi, itupun bisa dibilang 70% lebih informasi sampah yang hanya memenuhi memori hape saja.

Apalagi zaman begini lebih sering di rumah saja, jadi tidak perlu-perlu amat berkomunikasi karena tidak ada yang bepergian. Hidup terasa damai tanpa WA dan waktu tidak habis hanya untuk membolak-balik grup WA hanya untuk memuaskan rasa penasaran saja.

Tanpa WA, hidup akan tetap baik-baik saja, malah semakin bebas merdeka lepas dari gempuran informasi yang semakin bias tak jelas. Justru inilah saat yang tepat melakukan hibernasi di era pandemi ini.

Hidup bisa lebih tenang dan damai jauh dari hiruk pikuk informasi horor dan menakutkan yang bakal menurunkan imunitas. Komunikasi dikembalikan ke alamnya, sebagai alat untuk bersilaturahmi dan bersinergi, bukan alat untuk memecah belah manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun