Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi Ketakutan Menyambut Era New Normal

28 Mei 2020   22:07 Diperbarui: 29 Mei 2020   09:48 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandemic of Fear (Sumber: logoschurch.ca)

Sekitar dua minggu lalu di laman medsos saya ada seorang teman memposting pertanyaan simpel tapi cukup mengrenyitkan dahi. Kira-kira begini pertanyaannya: Di tengah situasi pandemi Covid-19 sekarang ini, bagaimana menghadapi ART yang ingin mudik. Rata-rata jawabannya cuma dua: beri insentif biar ga mudik, atau berhentikan saja kalau tetap nekad. Ketakutan akan membawa pulang virus dari kampung membuat mereka memberikan jawaban seperti itu.

Lalu ketika ada wacana bahwa sekolah akan dibuka awal Juni ini, kekhawatiran akan penyebaran virus di sekolah kembali muncul. Banyak suara-suara yang menolak anaknya masuk sekolah bila kasus covid-19 masih terus bertambah. 

Para ibu-ibu takut bakal terbentuk kluster penularan baru virus di sekolah anaknya. Sekolah sendiri tampaknya juga masih bingung mempersiapkan ruangan yang sesuai dengan protokol kesehatan di era new normal karena desainnya memang dibuat kompak atau padat.

Di kampung pandemi ketakutan sudah lama berlangsung jauh sebelum PSBB berlaku. Masih belum hilang dari ingatan ketika jenazah pasien Covid-19 ditolak warga, ada nakes yang diusir dari kos-kosan, pasien ODP yang dikucilkan ketika sedang isolasi mandiri, dan banyak lagi kasus-kasus lainnya. Jalanan diportal tapi penjaganya malah nangkring kumpul-kumpul tak jelas. 

Di kantor sendiri orang-orang sudah tak mau lagi bersalam-salaman padahal baru saja kita merayakan Idul Fitri. Tidak ada lagi rapat-rapat di ruangan, berganti menjadi vicon walau sama-sama ada di kantor.

Social distrust seperti ditulis rekan Kompasianers benar-benar terjadi karena ketakutan tertular virus yang diduga dibawa orang yang ada di dekatnya seperti cerita di awal tulisan ini. Orang-orang jadi paranoid walau mulutnya selalu bicara waspada boleh tapi jangan takut, namun perilakunya menunjukkan hal sebaliknya.

Pandemi virus tampaknya sudah mulai bergeser menjadi pandemi ketakutan. Wajar sih karena belum jelas kapan pandemi ini akan berakhir, sementara kasus harian selalu bertambah terus. 

Media-media mainstream maupun medsos semakin mendukung percepatan pertumbuhan rasa takut dengan berita-berita tentang penularan dan kematian yang silih berganti hadir menenggelamkan berita kesembuhan. Bad news is good news, itulah jargon yang tak pernah hilang karena berita buruk adalah tambang emas yang menggiurkan, tak peduli dampaknya membentuk pandemi ketakutan.

Namun pertanyaannya, apakah kita harus terus menerus mengurung diri dalam ketakutan? Padahal dalam tiga bulan ini kita bisa belajar banyak mengenai karakter virus, penyakit yang diakibatkan oleh virus, siapa saja yang rentan terpapar, cara menghindarinya, cara penyembuhannya, dan bagaimana harus bersikap. Apakah itu belum cukup untuk mengurangi rasa takut sehingga bayang-bayang  kematian terus mengiringi sisa hidup kita?

WHO sendiri sudah memperingatkan bahwa virus ini tidak bakal hilang dalam waktu dekat. Jadi mau tak mau suka tak suka kita dipaksa harus head to head melawan virus tersebut. Tentu tidak mungkin kita berdiam diri terus menerus di dalam rumah, kecuali kalau tabungan cukup untuk tujuh turunan. Manusia fitrahnya adalah terus bergerak mengikuti perubahan, bukan diam statis menghindari virus yang tak bakal hilang tersebut

Ketakutan haruslah menjadi energi untuk menemukan cara bertahan hidup, seperti ketakutan akan gelap membuat orang mencari cara untuk menemukan cahaya mulai dari api, obor, hingga lampu. Ketakutan akan kecelakaan membuat manusia memakai helm dan menaati aturan lalu lintas. FIght or flight, begitu kata pepatah. Lawan atau hindari musuh, pakai strategi bukan dengan ketakutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun