Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masih Pengin Mudik? Yuk Karantina Mandiri Dulu

1 April 2020   10:45 Diperbarui: 2 April 2020   20:14 2310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mudik menggunakan angkutan umum - (DOK KOMPAS/SUPRIYANTO)

Pemerintah secara resmi telah menetapkan pembatasan sosial berskala besar dalam rangka pencegahan penyebaran virus corona ke berbagai wilayah Indonesia. Salah satunya dengan melarang mudik bagi warga yang bekerja di kota besar ke kampung halamannya. 

Namun ternyata sebagian sudah banyak yang mulai mudik ke kampung halaman sebelum diberlakukannya peraturan tersebut. Rata-rata mereka yang mudik dini karena memang sudah tidak ada lagi yang diharapkan di ibukota sehingga lebih baik pulang kampung daripada merana.

Mudik memang sudah menjadi tradisi puluhan tahun bangsa Indonesia, apalagi yang tinggal di Pulau Jawa yang padat penduduknya. Ga ada loe ga rame, meminjam istilah iklan salah satu produk, itulah makna mudik sebenarnya. 

Sudah menjadi kebiasaan sebuah keluarga besar berkumpul di kampung halaman, bersilaturahmi dan saling bermaafan satu sama lain, karena pada hari-hari biasa belum tentu ketemu walau tinggalnya berdekatan. Semua sibuk pada urusan masing-masing, dan pada hari lebaranlah momen yang tepat untuk saling menyapa kembali.

Hal ini kontras dengan penanganan wabah corona yang justru membatasi secara sosial makhluk bernama manusia. Setiap orang diberi jarak saat bertemu, tak boleh langsung bersinggungan apalagi bersalam-salaman demi menghindari penularan virus yang sangat cepat. 

Penularan lewat manusia yang cepat itulah yang akhirnya membuat jarak sosial antarsesama, tak pandang keluarga, saudara, teman, dan handai taulan lainnya. Apalagi bila berkumpul dalam jumlah besar pada satu tempat, ibarat jalan tol menuju penularan masif.

Namun masih ada saja yang beranggapan bahwa tradisi mudik tak boleh hilang begitu saja walau ada bala menghadang. Mudik tetap harus berjalan dalam situasi apapun dengan cara bagaimanapun.

Aparat tentu akan kewalahan membendung arus mudik bila sebagian masyarakat tetap memaksakan mudik sementara pemerintah tetap melarang mudik. Jadi harus ada jalan tengah untuk menjembatani hal tersebut.

Di zaman modern ini berkomunikasi sudah bukan yang sulit lagi. Video call sudah gratis alias hanya menggunakan paket data yang bisa dipilih unlimited agar tak memakan kuota. 

Jadi sebenarnya dengan perangkat ponsel atau lapie yang terhubung internet sudah cukup untuk bersilaturahmi tanpa harus mudik. Toh sama-sama tak boleh mendekat alias cipika cipiki walau ketemu langsung sekalipun, jadi sama saja dengan video call toh.

So, kalau masih tetap memaksakan mudik juga, yuk mari kita semua sama-sama karantina mandiri. Masih ada waktu tiga minggu menjelang awal puasa, dan enam minggu menjelang mudik lebaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun