Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Koalisi Gemuk, Tantangan Terbesar Jokowi di Periode Kedua

19 Oktober 2019   11:14 Diperbarui: 27 Agustus 2021   06:43 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usai dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi dan Ma'ruf Amin dikabarkan akan segera mengumumkan susunan kabinet| Sumber: Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay

Sebentar lagi kabinet kerja jilid pertama akan berakhir dan digantikan oleh kabinet jilid kedua dengan pergantian wapres dari Jusuf Kalla kepada KH Ma'ruf Amin. 

Berbeda dengan periode pertama dimana oposisi menjadi mayoritas di parlemen sehingga lebih memudahkan Jokowi menata kabinetnya, kali ini justru mayoritas parpol menjadi pendukung Jokowi, bahkan yang awalnya oposisi pun mulai merapat untuk mendapat jatah di kabinet.

Hasilnya sudah mulai terang benderang. Revisi UU KPK yang baru menggelinding begitu saja tanpa dapat ditahan oleh presiden sekalipun walau beliau tidak menandatanganinya. 

RUU KUHP, Migas, Pertanahan, dan sebagainya juga nyaris menggelinding dengan pola yang sama jika para mahasiswa dan sebagian rakyat tidak bergerak menggeruduk gedung dewan yang terhormat. 

Nyaris tak ada perlawanan terhadap kebijakan yang dihasilkan oleh DPR oleh pemerintah maupun partai yang berseberangan. 

Semua seiya sekata seirama untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus menumpuk pundi-pundi tanpa takut terhalangi lagi oleh OTT, semua jadi OTW sesuai rencana.

Jokowi yang seolah tanpa beban pada periode kedua ini justru semakin berat beban di pundaknya oleh para partai pendukung alias koalisi yang bakal menggandulinya selama lima tahun ke depan. 

Beban pertama sudah jelas, bagaimana mengakomodasi orang-orang parpol di kabinet kerja yang jumlahnya maksimal hanya 34 kursi menteri plus sekitar 20-30 kursi lembaga pemerintah non kementerian. 

Komposisi 60:40 yang seharusnya didominasi orang profesional bakal bergeser sebaliknya, bahkan mungkin lebih besar, atau bisa saja profesional yang berafiliasi ke salah satu partai.

Walau presiden mengatakan telah rampung menyusun kabinet, namun bisa saja di menit-menit akhir semuanya berubah karena desakan kuat para parpol pendukungnya. 

Masih tak lekang dalam ingatan ketika Mahfud MD di pagi hari sudah siap-siap deklarasi menjadi cawapres, tiba-tiba sore harinya berubah total setelah partai-partai pendukung berhasil "mengintervensi" pilihan beliau dengan berbagai alasan.

Konsekuensinya, para menteri bakal lebih tunduk pada partainya ketimbang membantu presiden. Mereka akan lebih sibuk mengurusi konstituen partainya melalui kewenangan yang ada di kementeriannya daripada menaati perintah presiden. 

Jokowi Ma'ruf Amin (Sumber: Instagram lilihari05 via tribunnews.com)
Jokowi Ma'ruf Amin (Sumber: Instagram lilihari05 via tribunnews.com)
Pada periode pertama yang masih mengedepankan profesional saja sudah terjadi beberapa kali reshuffle kabinet akibat para menterinya mulai tak sejalan dengan kebijakan presiden, apalagi para periode ini. 

Presiden mungkin juga tak berani lagi sering melakukan reshuffle karena besarnya tekanan partai, namun dampaknya kinerja kabinet akan menjadi lamban.

Beban berikutnya adalah kelanjutan mega proyek seperti kereta cepat, jalan tol trans Sumatra, dan lain sebagainya di tengah beban utang yang semakin menumpuk, sementara hasil investasi yang sudah selesai tak seperti yang diharapkan. 

Jalan-jalan tol yang sudah jadi ternyata sepi pengguna dan hanya ramai saat lebaran dan libur panjang tiba, selebihnya kosong melompong. 

Bandara Kertajati tak kunjung naik okupansinya walau sudah ada beberapa kebijakan yang "memaksa" penumpang untuk terbang dari bandara tersebut. Bandara Kulonprogo juga belum mampu menggantikan Adisutjipto karena letaknya yang terlalu jauh dari kota.

Hal ini tentu harus menjadi perhatian apakah mega proyek tersebut harus tetap dilanjutkan atau sebagian ditunda dulu. Pemerintah perlu mengkaji mana investasi yang menguntungkan mana yang tidak, jangan hanya karena keinginan saja. 

Tidak semua daerah harus dibangun infrastruktur, tapi lebih penting menjaga sumber daya alamnya agar tak terjamah investor yang belum tentu ramah lingkungan. 

Tidak semua masyarakat membutuhkan infrastruktur, tapi lebih kepada bagaimana hidup bahagia bersama alam semesta.

Beban ketiga adalah tak kunjung menyatunya masyarakat di akar rumput, walau di antara elite sudah saling "potong kue" bersama. Kasus Wiranto kemarin seolah membangunkan ular tidur, bahwa masih ada masyarakat yang belum move on dengan hasil pilpres. 

Mereka seperti tak peduli para elitnya sudah tertawa riang, sementara grass root masih tetap harus membanting tulang di tengah merosotnya daya beli dan krisis ekonomi global yang sudah mulai terbayang di depan mata. 

Strategi beliau menggandeng para elite untuk berkumpul dalam satu kubu rupanya sama sekali belum berpengaruh terhadap para pendukungnya.

Beban keempat adalah dominasi partai melalui parlemen dan menterinya sendiri yang akan memasukkan program-programnya dalam kabinet kerja jilid dua, yang belum tentu sesuai keinginan rakyat pada umumnya dan presiden sendiri. 

Masalahnya program dari partai A belum tentu sejalan dengan partai B sehingga rawan konflik di antara mereka sendiri untuk menggolkan programnya. Mampukah presiden meredam keinginan partai-partai yang belum tentu sejalan itu?

Beban kelima adalah kasus-kasus pelanggaran HAM yang mungkin tak akan pernah tuntas namun malah bertambah terutama sejak demo dan kerusuhan yang berlangsung akhir-akhir ini. 

Berbagai pembatasan mulai terjadi seolah kembali seperti zaman orde baru. seperti pembatasan akses internet, pelarangan demo mahasiswa dan pelajar, hingga kekerasan yang terjadi selama demonstrasi. 

Rasanya sulit berharap banyak terhadap perubahan radikal, apalagi revolusi mental yang seharusnya menjadi ikon gerakan pembangunan SDM yang selama ini digadang-gadang akan dilaksanakan pada periode kedua ini. 

Jokowi akhirnya menyerah pada kenyataan, mengikuti pendahulunya SBY yang lebih memilih merangkul semua pihak terutama elite politik ketimbang berperang melawan korupsi dan tancap gas seperti pada periode sebelumnya.

Seharusnya periode kedua SBY bisa menjadi pelajaran bahwa keinginan merangkul semua pihak justru semakin rawan konflik kepentingan. Cobalah perhatikan di periode kedua beliau justru semakin banyak yang tertangkap oleh KPK dibanding periode sebelumnya. 

Hal ini terjadi karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi sementara ruang gerak mereka semakin sempit. Itulah makanya mengapa revisi UU KPK dipercepat agar tidak mengganggu lagi stabilitas politik di periode kedua seperti yang dialami oleh SBY.

Jadi bukannya tak ada beban lagi dalam bertindak, malah justru sebaliknya semakin banyak beban yang harus ditanggung dalam periode kedua pemerintahan beliau. 

Beliau tak lagi leluasa seperti periode sebelumnya, bahkan konon menteri-menteri yang terbilang 'berani' bakal dilengserkan diganti oleh orang-orang dari partai yang lebih "santun" yang dihasilkan dari koalisi gemuk tadi. 

Koalisi gemuk yang nyaris tanpa oposisi malah menghasilkan beban besar ketimbang peningkatan kinerja.

Apapun, saya tetap mengucapkan selamat bekerja buat duet Jokowi-Ma'ruf, semoga mampu mengatasi beban-beban tersebut di atas dan tetap mengedepankan revolusi mental dalam rangka peningkatan SDM pada periode kedua ini. 

Ingat, pembangunan SDM bukan lagi menciptakan manusia pintar, tapi manusia beretika dan rendah hati serta mampu mengontrol emosinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun