Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Nasdem Meroket, Hanura Terpeleset

21 Mei 2019   17:22 Diperbarui: 22 Mei 2019   09:12 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanura dan Nasdem (sumber: nusantara.news)

Pemilu gabungan kali ini membuat orang lebih fokus pada pilpres dan abai terhadap hasil pileg. Padahal pertarungan di pileg justru lebih seru karena persaingan bukan hanya antar partai tapi juga di dalam partai itu sendiri. Malah potensi kecurangan yang terstruktur, sistematik, dan masif justru lebih mudah terjadi dalam pileg daripada pilpres.

Melihat hasil pileg sebagaimana sudah diputuskan KPU semalam bersamaan dengan pengumuman pemenang pilpres, beberapa partai mengalami kenaikan suara yang signifikan, termasuk di antaranya Gerindra, PKB, Nasdem, dan PKS. Sementara beberapa lainnya justru mengalami penurunan seperti Golkar, Demokrat, dan Hanura. Bahkan Hanura sendiri terpeleset tidak memenuhi electoral threshold 4% suara. PAN sendiri relatif stabil suaranya walau secara prosentase turun.

Di antara partai-partai tersebut, Nasdem bersama PKS mengalami peningkatan suara yang signifikan baik persentase maupun jumlahnya. Persentase Nasdem meningkat pesat dari 6,72% tahun 2014 menjadi 9,05% tahun 2019 dengan peningkatan jumlah suara sebesar 4.258.980 jiwa. Sementara PKS juga meningkat persentasenya dari 6,79% (2014) menjadi 8,21% (2019) dengan peningkatan suara 3.013.459 jiwa. 

PDIP juga mengalami penambahan suara sebesar 3.372.490 dan Gerindra sebesar 2.834.468, namun secara persentase tidak terlalu besar kenaikannya karena besarnya penambahan surat suara yang sah sebesar 15 juta jiwa.

Seperti pernah saya ulas di sini, peningkatan suara Nasdem cukup aneh mengingat hampir tidak ada tokoh-tokoh yang "menjual" atau menjadi media darling. Ini menjadi sebuah ironi karena Nasdem sepertinya hanya mengandalkan jaringan media yang dimiliki Surya Paloh sebagai ketua dewan pembinanya. 

Tidak ada sesuatu yang istimewa dari Nasdem selain dukungan penuh terhadap Jokowi, dan sedikitnya kader partai yang terjerat kasus korupsi. Lagipula tidak ada jargon kampanye yang ampuh untuk menarik minat pemilih.

Hebatnya lagi, Nasdem sekarang masuk lima besar, jauh di atas partai-partai yang sudah senior seperti PPP, PAN, Demokrat, dan PKS. Kemungkinan perolehan kursinya juga diperkirakan bakal menggusur PKB walau jumlah suaranya kalah. 

Hal ini karena perolehan kursi didasarkan pada dapil, bukan semata-mata jumlah suara saja. Bisa jadi karena Nasdem relatif adem, konsisten, dan tidak banyak tingkah seperti partai-partai lainnya sehingga menjadi pilihan alternatif buat yang sudah bosan dengan perilaku partai-partai lama.

Berbeda dengan PKS yang mengalami peningkatan suara signifikan karena diduga membawa politik identitas. Kesamaan keyakinan membuat PKS bisa memengaruhi swing voter yang seiman untuk memilih caleg-caleg dari PKS. 

Suasana batin swing voter seiman yang resah dengan kondisi pemerintahan sekarang menjadi makanan empuk bagi PKS untuk mendulang suara. Kampanye SIM seumur hidup dan STNK gratis membuat kampanye PKS lebih membumi dan lebih mengena di masyarakat.

Hanura justru bernasib malang. Teman satu koalisi Nasdem ini terpental setelah hanya memperoleh 1,54% saja, jauh di bawah electoral threshold 4%, bahkan masih di bawah partai baru PSI yang memperoleh 1,89% walau sama-sama tidak lolos. 

Kisruh kepemimpinan pasca mundurnya Wiranto menjadi salah satu sebab mundurnya Hanura. Selain itu tidak adanya isu-isu aktual yang diangkat Hanura membuat partai tersebut gagal meraih suara signifikan untuk tetap bertahan di Senayan.

Partai-partai senior lain juga bertumbangan walau masih lolos electoral threshold. Paling parah adalah PPP yang gembos suaranya dari 6,53% tahun 2014 menjadi 4,52% tahun 2019. Perolehan suara juga turun sekitar 1.834.341 jiwa, padahal jumlah pemilih dengan suara sah meningkat pesat dari 125 juta menjadi 140 juta orang. 

Partai lain yang mengalami penurunan cukup tajam adalah Demokrat yang terlalu mengandalkan SBY sebagai figur sentral, sementara kehadiran AHY belum cukup mampu mengangkat suara, apalagi beberapa kadernya seperti Andi Arief dan Ferdinand Hutahaean sering membuat blunder yang membuat malu SBY.

Uniknya lagi, suara parpol pendukung paslon 01 bila ditotal mencapai 62% dan paslon 02 sebesar 38%, padahal suara paslon 01 sendiri cuma 55,5% dan paslon 02 malah naik sebesar 44,5%. Artinya ada sebagian pendukung parpol paslon 01 yang memilih paslon 02. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan parpol belum tentu sejalan dengan pemilihnya.

Terakhir, politik identitas ternyata tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara karena prosentase kemenangan paslon 01 justru naik dari 53,15% menjadi 55,5%. Walau tidak terlalu jauh kenaikannya, namun hal ini membuktikan bahwa kerja keras Jokowi masih diapresiasi sebagian besar rakyat Indonesia.

Harapan saya, semoga partai-partai yang lolos ke Senayan lebih gigih lagi memperjuangkan rakyat terutama konstituennya, jangan hanya mengejar balik modal kampanye saja. 

Rakyat sudah mulai pintar memilih partai, terbukti dengan turunnya presentase dan jumlah pemilih partai-partai lama termasuk Golkar dan PPP. Oleh karena itu partai yang lebih senior perlu mawas diri agar tidak terhempas seperti Hanura.

Sumber (1) dan (2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun