Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pengalaman Terdampar di Padang Besar

15 Februari 2016   09:55 Diperbarui: 15 Februari 2016   10:12 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Traveling di luar negeri, apalagi bila hendak menyeberang dua negara lewat darat, sebaiknya memang harus menyiapkan berbagai rencana untuk menghindari kemungkinan terburuk seperti yang nyaris kami alami. Mengandalkan pemesanan online saja tidaklah cukup, karena ada beberapa yang tetap harus konfirmasi secara offline terutama untuk perjalanan darat dan laut, termasuk juga akomodasi. Hal ini berbeda dengan perjalanan udara yang sudah bisa dikonfirmasi secara online. Bila tidak dilakukan, maka siap-siaplah untuk terdampar di negeri antah berantah yang baru pertama kali disinggahi. Kami nyaris terkatung-katung di zona netral bila tidak segera mengambil keputusan tepat walaupun butuh sedikit pengorbanan.

Menyambung tulisan sebelumnya disini, kereta api akhirnya tiba di Hat Yai pukul 10.30 WIB, terlambat 3 jam akibat waktu berangkat terlambat dan perbaikan listrik di gerbong kami. Selepas turun dari kereta, kami langsung menuju ke salah satu restoran muslim yang berada di depan stasiun untuk sarapan sekaligus makan siang. Di sini kita bisa menggunakan bahasa Melayu walau masih patah-patah campur Inggris, karena Thailand Selatan sebagian penduduknya adalah suku Melayu. Sementara keluarga kami menghabiskan makan siang, saya pamit sebentar untuk konfirmasi tiket van (semacam travel di sini) menuju Penang. Karena tidak bisa bahasa Thailand, supir langsung tahu kalau saya bukan orang lokal, dan langsung ditembak ongkos 40 Baht hanya untuk jarak satu kilometer!

Sesampai di agen tiket, rupanya tiket saya yang dipesan online sudah dijual kembali karena alasannya tidak ada konfirmasi telepon dan tidak ada akses internet di agen tersebut. Hari gini ternyata masih ada saja yang tidak terkoneksi internet padahal sudah jual tiket online. Agen tersebut beralasan internet hanya bisa diakses di kantor pusat Penang, sementara kantor pusat sendiri tidak memberikan konfirmasi ke agen Hat Yai sehingga mereka jual tiket secara offline. Untungnya pas mereka konfirmasi ke Penang, uang yang telah saya bayarkan bisa dikembalikan secara utuh sebesar RM 200. Segera saya mencari agen lain di sekitar stasiun, namun tetap saja kembali dengan tangan hampa. Semua keberangkatan van hari Minggu (saat itu) dan Senin telah habis dipesan, juga bus yang dihubungi oleh beberapa agen yang saya hampiri. Impian untuk bersantai sejenak di Hat Yai punah sudah.

Sekembali ke rumah makan, pemiik rumah makan menawarkan mobilnya untuk mengantar ke perbatasan di Padang Besar. Belliau menawarkan alternatif lain juga untuk mencoba ke terminal bus, siapa tahu masih ada. Kami putuskan untuk sholat Dhuzur terlebih dahulu di stasiun sebelum mengambil keputusan. Saat hendak sholat, kami berjumpa dengan keluarga Melayu yang hendak menghantarkan putranya naik kereta tujuan Bangkok. Mereka juga menawarkan tumpangan ke perbatasan, namun karena terlanjur telah berjanji dengan pemilik rumah makan, terpaksa saya tolak dengan halus tawarannya. Usai sholat kami kembali ke rumah makan untuk melanjutkan perjalanan menuju perbatasan dengan mobil sewaan seharga 1000 Baht. Bisa saja sebenarnya kami ke terminal bus, namun daripada beresiko tidak dapat bus dan susah cari angkutan ke perbatasan lebih baik tetap menyewa mobil saja. Cukup mahal memang, tapi karena sudah terlanjur pesan hotel di Penang dan pesawat dari Penang ke KL, terpaksa harus nekat walau tidak tahu lagi setelah menyeberang perbatasan mau naik apa lagi. Show must go on, yang penting jalan terus, urusan transportasi berikutnya bagaimana nanti saja.

Supirnya ternyata tidak bisa bahasa Inggris dan hanya diberitahu pemilik rumah makan untuk mengantar kami ke perbatasan. Satu jam perjalanan dari Hat Yai hingga ke Padang Besar, dari sini sebenarnya ada dua pintu perbatasan, lurus lewat Sadao atau belok kanan lewat Padang Besar, namun karena supir tidak mengerti isyarat kami, terpaksa pasrah saja ketika supir memilih untuk belok kanan. Perjalanan lanjut hingga saya sekelebat melihat gedung Custom di sebelah kiri, tetapi supir tetap jalan terus hingga ke antrian truk menuju stasiun Padang Besar. Di sini ternyata tidak ada tanda-tanda orang menyeberang perbatasan, dan sayapun memberi kode pada supir untuk kembali ke jalan semula. Setiba di depan gedung bertuliskan Custom tadi, saya perintahkan supir untuk berhenti dan kamipun segera turun. Sedikit nekat memang mengingat supir sudah meninggalkan kami dan saya sendiri tidak tahu persis apakah gedung tersebut merupakan gerbang perbatasan.

Dengan perasaan sedikit was-was kami berjalan menyeberangi jalan menuju gedung bertuliskan Custom tersebut. Di situ rupanya mulai tampak antrian orang, dan kami dengan tampilan percaya diri ikut nimbrung dalam antrian. Rupanya di depan kami adalah rombongan dari Malaysia, tampak dari obrolan sesama mereka. Sayapun langsung bertanya,"Ini gerbang imigresenkah?"

Salah satu dari mereka menjawab,"Iya, nak pigi mane?"

"Penang," jawabku. "Nape tak ambik Bukit Kayu Hitam saje?"

"Bas dan van full book. Tak ade lagi opsyen nak ke Penang, jadilah kami ni putus sambung," Jelasku sambil bertanya lagi "Macam mana kami nak ke Penang? Ada stesen baskah lepas imigresen?"

"Lepas imigresen, ambik kereta sewa ke Bukit Kayu Hitam. Lepas tu naik bas ke Butterworth, sambung lagi ferry ke Georgetown."

"Terima kasih pakcik," jawabku sambil menunggu antrian. Pas giliranku, petugas mengutip  RM 1 per orang untuk cap paspor, dan kuberikan saja 5 Baht untuk 6 paspor. "Thank you" ucap petugas sambil tersenyum.

Setelah lewat gerbang, seorang Bapak mendekatiku sambil menawarkan jasa menyeberang. Kutolak halus karena kupikir bisa berjalan kaki menyeberang perbatasan seperti di Entikong-Tebedu. Baru saja beberapa langkah, seorang ibu dengan gigihnya menawarkan jasa pengantaran serupa dengan ongkos RM 25 semua. Awalnya kutolak, namun beliau terus setengah memaksa dengan alasan jaraknya jauh dan tak ada orang jalan kaki, nanti dicurigai petugas karena tidak naik kendaraan. Betul juga alasan ibu itu, daripada tidak bisa masuk Malaysia sementara sudah keluar dari Thailand, lebih baik ikuti saja tawaran beliau. "Langsung ke stasiun tak? Kalau langsung 50 Ringgit," Ibu itu menaikkan tawarannya lagi. Ya sudahlah daripada terdampar tak jelas di negeri orang, lagi-lagi kuterima tawarannya.

Apa yang dikatakan ibu calo tadi memang benar. Jarak antar pos perbatasan lumayan jauh hampir satu kilometer dan tak satupun tampak orang berjalan kaki, padahal dari gerbang Thailand tadi sepertinya banyak yang berjalan kaki. Rupanya memang petugas sudah tahu sama tahu dengan mereka para calo pengantaran, sehingga kami tidak lagi diperiksa Polis yang menanti di depan gerbang sebelum masuk ke gedung imigresen Malaysia. Kami hanya turun untuk cap paspor dan hanya ditanya hendak ke mana, saya jawab saja ke Penang untuk liburan. Urusan imigresen lancar, dan barang-barang kami tidak diturunkan dari kendaraan, hanya diperiksa sekilas oleh petugas lain. Selepas imigrasi, ada pemeriksaan Polis kembali namun supir cuma tersenyum dan mereka mengerti sehingga portal langsung dibuka dan sampailah kami di Malaysia dengan aman.

Namun persoalan belum selesai sampai di sini, karena ternyata kereta api menuju Butterworth hanya ada besok pagi, sementara sore ini hanya tersedia kereta langsung ke KL. Matilah kami, pikiranku seketika melayang, bingung hendak kemana lagi. Di halaman parkir tak ada ojek maupun taksi. Hanya ada kereta (mobil) baru datang mengantarkan orang ke stasiun, dan itupun menolak untuk mengantarku dengan alasan tak ada terminal bis di Padang Besar. Rupanya ada dua Padang Besar, satu masuk wilayah Thailand, lainnya masuk wilayah Malaysia. Dan terminal terdekat hanya ada di Changloon yang terletak sekitar 35 Km dari sini. Untunglah sebuah mobil van di belakang juga baru saja antar rombongan bersedia mengantar kami ke kota Padang Besar, selanjutnya dia hubungi temannya pemilik kereta sewa (mobil rental) untuk mengantar kami ke Changloon. Kami ditinggalkan oleh supir tadi di sebuah kedai dengan meninggalkan nomor mobil yang akan menjemput. Sepuluh menit kemudian mobil penjemput tiba dan kamipun langsung berangkat setelah menaruh tas ransel di belakang mobil.

Sepanjang perjalanan terdapat dua kali razia Polis, dan yang dihentikan rata-rata berplat Thailand, sementara plat lokal dibiarkan lolos setelah sang supir hanya tersenyum memandang petugas. Kata supir, razia tersebut untuk menangkal pendatang haram dari arah Thailand. Setelah 40 menit perjalanan, kami tiba di terminal bus Changloon, dan sayapun segera menuju konter bas untuk membeli tiket ke Butterworth. Malangnya, lagi-lagi sudah tak ada tiket ke Butterworth di beberapa loket yang ada. Untungnya pas loket terakhir, saya diantar petugas loket yang menanyakan satu persatu apakah masih ada tiket ke Butterworth. Akhirnya di ujung terminal barulah kami memperoleh tiket bas untuk lima orang setelah berkeliling loket. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, saya konfirmasi hotel saat itu juga, dan mereka siap menunggu kedatangan kami tengah malam nanti.

Karena waktu keberangkatan masih pukul tujuh atau dua jam lagi, kami makan dulu di sebuah kedai tepi jalan. Tak terasa pukul tujuh lewat, sementara bas belum juga tiba. Hati jadi deg-degan lagi takut tiba-tiba dibatalkan, karena masih trauma dengan kejadian siang tadi, apalagi kondisi hari itu yang full booked. Saya kembali memastikan ke petugas loket dan dijawab tunggu saja. Akhirnya setengah jam kemudian bas datang, hati yang sudah panas seperti diguyur es, adem dan tenang. Tapi perjalanan belumlah berakhir, bas sempet ngetem di Alor Setar sebelum melanjutkan perjalanan ke Butterworth, dan sepanjang lebuhraya (jalan tol) kondisi padat merayap dengan kecepatan 30-40 Km per jam hingga menjelang Sungai Petani. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai ke terminal terpadu Butterworth. Disebut terminal terpadu karena disamping bas terminal juga terdapat stasiun kereta api dan pelabuhan ferry. Namun jarak dari terminal ke pelabuhan ferry cukup jauh sekitar 300 meter, lumayan berat karena sambil membawa bayi. Bagusnya di ruang tunggu ferry ada tempat duduk khusus jadi tak terasa lelah setiba di pelabuhan. Setengah jam kemudian ferry tiba, kamipun menyeberang selat Penang menuju Georgetown tempat kami menginap. Penderitaan berakhir sudah dan kamipun langsung tertidur lelap setiba di hotel.

Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa ini:
  • Pelajari daerah yang akan kita lalui, paling tidak punya gambaran sedikit dari google maps sehingga tidak gelagapan apabila terdampar di suatu kota. Di dekat Hat Yai ada dua pintu perbatasan yang saling berdekatan, yaitu Padang Besar dan Sadao-Bukit Kayu Hitam. Kalau bis dan van biasanya lewat Sadao, kalau kereta api lewat Padang Besar. Jadi kalau kesasar tidak buta peta, paling tidak tahu arah keluar.
  • Di wilayah Malaysia sulit mencari ojek atau angkutan umum jarak pendek, paling mentok ya kereta sewa alias mobil rental. Jadi bila terjadi kondisi seperti ini harus berani bertanya atau sedikit nekat minta tolong antar seperti cerita di atas.
  • Siapkan uang receh dalam Baht maupun Ringgit, bila ada kejadian seperti ini kita sudah siap menghadapinya, dan jangan terlalu pelit untuk kondisi darurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun