Mohon tunggu...
Diva Putri Priyanka
Diva Putri Priyanka Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa S1 Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Ekonomi Ali-Baba: Cita-Cita Besar yang Gagal Mengangkat Pengusaha Pribumi

12 Oktober 2025   12:25 Diperbarui: 12 Oktober 2025   12:40 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan, bangsa ini memasuki fase Demokrasi Liberal yang berlangsung antara 1949 hingga 1959. Masa tersebut ditandai dengan suburnya sistem multipartai serta keberadaan kabinet parlementer. Pemilu yang relatif terbuka dan kebebasan berpendapat dianggap sebagai kemajuan penting menuju negara yang lebih modern. Namun, di balik itu semua, kerap bergantinya kabinet dan perdebatan politik yang panjang justru memicu ketidakstabilan. Kondisi tersebut berdampak langsung pada arah kebijakan ekonomi nasional yang sebenarnya diharapkan mampu mendorong pembangunan.

Situasi menjadi semakin sulit ketika pada 1 Agustus 1950 Indonesia berbentuk lagi sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perekonomian negara menghadapi tantangan besar dengan melemahnya nilai rupiah, menurunnya ekspor, dan inflasi yang kian tak terkendali hingga mencapai puncaknya pada 1954. Krisis devisa yang terus berlanjut memperburuk keadaan, sementara anggaran negara justru lebih banyak terserap untuk pengeluaran non-pembangunan. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat dan kesejahteraan masyarakat sulit ditingkatkan.

Dalam konteks itulah lahir kebijakan Sistem Ekonomi Ali-Baba. Ide ini mendorong kolaborasi antara pengusaha pribumi yang disebut sebagai “Ali” dengan pengusaha Cina yang disebut “Baba”. Tujuannya adalah memperkuat fondasi ekonomi nasional tanpa mengabaikan peran kelompok yang sudah lama berkontribusi di sektor perdagangan. Sayangnya, praktik di lapangan tidak berjalan sebagaimana direncanakan karena masih kuatnya tarik-menarik kepentingan politik serta lemahnya aturan pendukung.

• Definisi Sistem Ekonomi Ali-Baba

Kebijakan ini pertama kali diperkenalkan oleh Iskaq Cokroadisuryo selaku Menteri Perekonomian dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1954–1955). Latar belakangnya adalah keinginan pemerintah memperbaiki posisi pengusaha pribumi yang masih tertinggal akibat perang kemerdekaan. Nama “Ali-Baba” melambangkan kemitraan di mana pengusaha pribumi diharapkan bisa belajar mengelola usaha, memperoleh akses modal, serta membangun jaringan melalui kerja sama dengan pengusaha Cina. Pada dasarnya, ini merupakan strategi pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional melalui kolaborasi lintas kelompok sosial. 

• Tujuan dan Realitas

Sistem Ali-Baba dirancang untuk memperbesar peluang bagi pengusaha lokal agar mampu berkembang dan perlahan-lahan melepaskan diri dari dominasi ekonomi kolonial. Pemerintah berharap kebijakan ini bisa membantu pengusaha pribumi memperluas pengalaman, membangun jejaring bisnis, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun, pelaksanaannya jauh dari ideal. Banyak izin impor, kontrak, dan fasilitas kredit justru jatuh ke tangan pengusaha non-pribumi. Aktivitas ekonomi pun lebih banyak dijalankan oleh kelompok yang sudah mapan, sementara pengusaha pribumi masih tertinggal. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara tujuan kebijakan dengan kenyataan yang terjadi.

• Mengapa Gagal?

Alih-alih menciptakan pengusaha pribumi yang mandiri, kebijakan ini malah membuka celah penyalahgunaan. Kredit dan lisensi yang diberikan pemerintah sering kali tidak benar- benar dimanfaatkan oleh pengusaha pribumi, melainkan dialihkan kepada pengusaha non-pribumi, terutama kelompok Cina, sehingga tujuan awal program tidak tercapai. Selain itu, bantuan kredit yang seharusnya diarahkan untuk kegiatan produktif justru digunakan untuk konsumsi, sehingga tidak memberi dampak berarti pada perekonomian nasional. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya kesiapan pengusaha lokal dalam mengelola peluang yang ada. Banyak pengusaha pemula pribumi yang langsung terjun ke pasar bebas tanpa pengalaman dan keterampilan memadai, sehingga sulit bersaing dan akhirnya tidak mampu bertahan di dunia usaha. Akibatnya, peran pengusaha pribumi dalam ekonomi nasional tetap terbatas.

Disisi lain, praktik manipulasi pun marak terjadi. Banyak pengusaha non-pribumi hanya “meminjam nama” pengusaha pribumi agar bisa mengakses kredit pemerintah dan memenuhi syarat kerja sama yang ditetapkan. Hal ini menegaskan bahwa tujuan sistem ekonomi Ali-Baba untuk menciptakan kolaborasi sejajar antara pribumi dan non-pribumi justru berakhir dengan ketimpangan baru. Kegagalan ini menjadi bukti bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan kesiapan sumber daya manusia, kebijakan ekonomi sebaik apa pun rentan melenceng dari tujuan aslinya.

• Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun