Mohon tunggu...
DIVA FAUNIA E
DIVA FAUNIA E Mohon Tunggu... Mahasiswa

Belajar seumur hidup menjadi kunci.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peringati Hari Pelajar Sedunia, Otoritas Sekolah dan Aksi Siswa Menjadi Sorotan Publik

15 Oktober 2025   23:30 Diperbarui: 15 Oktober 2025   23:02 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Insiden Viral SMAN 1 Cimarga dalam lensa Psikologi Pendidikan

Hari Pelajar Sedunia yang diperingati setiap tanggal 15 Oktober sebagai penanda untuk mendorong generasi muda untuk memanfaatkan momen ini demi meningkatkan inovasi dan kreasi mereka di sektor Pendidikan. Namun, semangat perayaan di Indonesia kembali teriris dengan adanya insiden yang mencuatkan ketegangan antara otoritas sekolah dengan pelajar. Sorotan publik kini tertuju pada kasus di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten. Berawal dari dugaan tindakan penamparan oleh pimpinan sekolah terhadap siswa karena melanggar aturan merokok (10/10/25), yang dianggap sebagai penganiayaan. Kemudian disusul dengan respon berantai (13/10/25) aksi mogok sekolah  630 siswa yang menuntut kepala sekolah untuk mundur dari jabatannya.

Pertanyaannya, mengapa upaya penegakan disiplin justru memicu perlawanan kolektif? Anaisis ini akan mengupas fenomena di SMAN 1 Cimarga melalui lensa psikologi dan Pendidikan karakter.

Dilihat dari sudut pandang psikologi dalam teori Modifikasi Perilaku, khususnya aliran Behaviorisme yang dipopulerkan oleh B.F. Skinner, tindakan pimpinan sekolah dapat dianalisis sebagai respons refleks atau Stimulus Respons yang menghasilkan Reinforcement Negatif (hukuman). Dalam konteks ini, Kepala Sekolah sebagai pimpinan, memberikan tamparan sebagai hukuman/upaya menghentikan perilaku yang tidak dikehendaki, yakni merokok. Namun, teori Skinner sendiri menunjukkan bahwa hukuman cenderung hanya menekan perilaku sementara dan berisiko menciptakan emosi negatif, seperti kecemasan atau bahkan agresi. Dalam kasus Cimarga, bukannya menimbulkan efek jera dan kesadaran, reinforcement negatif ini justru memicu perlawanan kolektif berupa aksi mogok, menegaskan bahwa hukuman fisik bukanlah metode yang efektif dan berkelanjutan untuk membangun disiplin dan tanggung jawab pelajar.

Pada kasus ini, insiden di Cimarga mengharuskan kita untuk menelaah dalam dua koridor hukum utama. Pertama, Kewajiban Pendidik. Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Kode Etik, pimpinan sekolah memiliki kewajiban untuk mendidik, membimbing, dan mengevaluasi peserta didik. Kedua, kewenangan ini dibatasi oleh Hak Anak. Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Anak secara eksplisit melarang penempatan anak dalam situasi yang mengarah pada kekerasan fisik atau psikis. Secara hukum, tindakan fisik oleh pendidik, terlepas dari motif penegakan disiplinnya, berpotensi kuat melanggar koridor perlindungan hak anak, sehingga menuntut profesionalisme pendidik agar metode koreksi yang dipilih tidak melampaui batas etis dan legal.

Aksi mogok yang melibatkan ratusan siswa di Cimarga menjadi reaksi kolektif yang tidak bisa hanya dilihat sebagai tindakan indisipliner belaka. Reaksi ini merupakan indikasi nyata adanya krisis kepercayaan yang mendalam terhadap metode penegakan otoritas di sekolah. Dalam konteks pendidikan karakter, aksi kolektif pelajar ini adalah manifestasi dari suara hati nurani yang menuntut kepastian ruang belajar yang aman, dan secara bebas dari rasa takut. Inilah pelajaran praktik Kewarganegaraan dan advokasi hak-hak dasar yang sesungguhnya terjadi di kehidupan nyata. Kepala sekolah sebagai pimpinan hendaknya mampu memberikan penanganan konflik yang berorientasi pada solusi, bukan menambah sanksi yang berujung pada eskalasi konflik. Sekolah yang ideal harus mampu merespons tuntutan ini dengan menerapkan model Restorative Justice, yaitu memfasilitasi dialog dan mediasi untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan mencari akar masalah, bukan memperbesar konflik.

Kasus di Cimarga ini menunjukkan bahwa reformasi pendidikan harus menyentuh dimensi etika dan profesionalisme pendidik. Kita menyadari bahwa solusi ideal seperti Disiplin Positif tidak semudah itu dijalankan di lapangan, mengingat beban kerja, kurangnya pelatihan guru, dan minimnya sumber daya. Oleh karena itu, kita harus mendorong solusi yang konstruktif dan sistemik, namun tetap berpegang pada realitas lapangan. Hal utama yang perlu diupayakan adalah pergeseran paradigma bertahap dari hukuman ke edukasi. Ini mencakup tiga langkah krusial:

  • Pendidik, terutama pimpinan sekolah dan guru BK, wajib menerima pelatihan dasar berskala kecil dalam Manajemen Emosi dan mediasi konflik:  memastikan koreksi lahir dari kesabaran dan didasarkan pada edukasi, bukan emosi.
  • Penguatan mekanisme pembinaan internal yang didokumentasikan: setiap pelanggaran besar wajib melalui tahapan mediasi bersama orang tua sebelum dijatuhi sanksi.
  • Diperlukan mekanisme pengaduan yang independen dan kredibel: menjamin pelajar memiliki saluran aman untuk bersuara tanpa khawatir adanya pembalasan

Dari kasus di atas, jelas menunjukkan adanya ketidakselarasan antara reinforcement negatif yang datang dari otoritas sekolah dengan karakter dasar Gen-Z. Generasi pelajar hari ini, terbiasa dengan arus informasi dan konektivitas, secara alamiah memiliki kebutuhan untuk didengarkan dan ingin memahami dasar dari setiap aturan yang diterapkan. Sifat terbuka dan menuntut akuntabilitas ini adalah bagian dari evolusi mereka, namun sayangnya, respons hukuman yang reaktif justru memicu perlawanan kolektif yang semakin memburuk.

Oleh karena itu, di hari pelajar ini, mari kita sebagai pimpinan sekolah/guru bertransformasi sebagai fasilitator yang mengedepankan kesabaran dan pemahaman dan siswa menyampaikan aspirasi kritis mereka secara terhormat. Jadikan pendidikan sebagai saran untuk berdialog dengan penuh kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan. Sebab, dengan respek timbal balik inilah kita bisa menjembatani dan menciptakan keseimbangan yang harmonis di sekolah. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun