Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gagal Itu Manusiawi: Merayakan International Day for Failure

14 Oktober 2025   19:58 Diperbarui: 15 Oktober 2025   10:27 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gagal bukan akhir perjalanan. Ia hanya tikungan baru. Terus melangkah, karena versi diri terbaik ada di depan sana. (Foto: Quang Nguyen Vinh/Unsplash)

Gerakan tersebut lahir dari keinginan sederhana: membuat orang lebih berani mencoba. Di Finlandia, hari itu dirayakan dengan berbagi kisah tentang kegagalan. Mulai dari pengusaha yang bangkrut, mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu, hingga orang-orang yang gagal meraih impian, tetapi tetap melangkah—semua bercerita tanpa ragu.

Tujuannya sederhana: mengubah pandangan masyarakat agar melihat kegagalan bukan sebagai aib, melainkan sebagai tanda keberanian untuk mencoba. Pesannya pun manusiawi: kita semua pernah gagal, dan itu tidak apa-apa.

Ia justru bukti bahwa kita hidup, mencoba, dan berani mengambil risiko. Bayangkan kalau semua orang takut gagal—tak akan ada penulis yang berani mengirim karya, tak akan ada orang yang berani jatuh cinta lagi setelah patah, tak akan ada pengusaha yang berani memulai lagi setelah jatuh.

Mengapa Kita Takut Gagal?

Kita sering takut gagal karena ia identik dengan rasa malu. Apalagi di era media sosial, di mana pencapaian orang lain begitu mudah terlihat, sementara proses jatuh bangunnya jarang tampak. Akibatnya, banyak orang lebih memilih diam dan tidak mencoba, daripada terlihat "tidak berhasil".

Padahal, kegagalan bukan akhir dari perjalanan. Ia hanya tanda bahwa kita sedang berproses.  Hidup tidak seharusnya diukur dari hasil yang selalu sempurna.

Ada nilai besar di balik setiap usaha yang tidak berujung seperti rencana: kesabaran, kerendahan hati, dan keuletan.

Kegagalan memberi kita ruang untuk belajar tanpa topeng pencitraan—ruang untuk menjadi manusia seutuhnya. Saat gagal, kita belajar menerima diri dengan segala ketidaksempurnaannya.

Kita belajar menatap cermin tanpa menyalahkan bayangan yang terlihat di sana. Inilah pondasi utama yang kita butuhkan sebelum melangkah: mencintai diri sendiri, termasuk bagian yang pernah jatuh dan belum sempurna.

Self-Love yang Tidak Lembek

Jadi, menerima kegagalan bukan berarti menyerah. Justru di situlah self-love yang sejati bekerja. Mencintai diri bukan sekadar berkata, "Aku sudah cukup." Namun, juga berani berkata, "Aku masih mau mencoba lagi."

Dari Kompasiana, aku belajar, tidak semua penghargaan datang dalam bentuk sorotan. Kadang, kepuasan terbesar justru muncul dalam keheningan setelah kita jujur menulis dari hati.

Kegagalan dalam cinta pun tidak selalu berarti kehilangan. Kadang, itu cara semesta menunjukkan bahwa kita pantas untuk hubungan yang lebih jujur—termasuk dengan diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun