Hujan turun deras di luar, mengetuk-ngetuk atap seng warung kopi pinggir jalan. Aroma gorengan yang baru saja diangkat dari wajan bercampur dengan bau khas tanah basah.
Kai dan Niko duduk di bangku panjang kayu, masing-masing dengan segelas kopi sachet panas di depan mereka. Uap tipis menari pelan, seakan ikut nimbrung dalam percakapan.
Kai meniup permukaan kopinya sebelum menyesap pelan. "Sekarang aku lebih suka kopi hitam tanpa gula," katanya lirih, seolah sebuah pengakuan kecil. "Lebih pas di lidah, bikin segar, tapi nggak bikin enek. Kalau di rumah aku biasanya Javapresso sachet, cuma di warung jelas nggak ada, jadi aku pilih yang ada aja."
Niko tertawa kecil sambil mengangkat gelasnya. "Aku justru masih sering main di zona nyaman. Kapal Api Special Mix, kadang Good Day, kadang Coffeemix. Pokoknya yang gampang ketemu di warung. Tinggal sobek, tuang, beres."
Ia menyeruput perlahan kopinya, lalu menaruh gelasnya kembali di meja dengan bunyi ketukan halus.
Kai mengangguk. "Dulu aku juga gitu. Apalagi waktu kuliah. Liong Bulan itu jimat begadangku. Kalau yang plus gula, aku malah nggak pernah aduk. Setiap tegukan ada kejutan. Rasanya hidup itu kayak gitu juga—kadang pahit, kadang manis." Matanya menerawang sebentar, seperti mengingat pahit manisnya tumpukan laporan yang pernah menemaninya.
Niko menyambar gorengan tempe yang masih hangat. "Nah, itu dia. Kadang bukan soal rasa, tapi soal momen. Kopi sachet itu kan, sederhana banget, tapi selalu nyelip di titik-titik hidup. Begadang, kerjaan numpuk, atau pas pengen santai aja. Jadi semacam ritual kecil yang hangat."
Kai tersenyum, memutar gelasnya perlahan. "Betul. Aku sering merasa kopi sachet itu bukan cuma soal kafein. Dia teman setia. Ngopi sachet bareng temen sambil ngomongin bola, saat sore hujan kayak gini, bahkan saat pengen sendiri."
Curah hujan kian menderas, menutupi suara motor yang melintas. Dari sela-sela kayu, angin dingin masuk membawa aroma tanah basah.
Niko menyalakan rokok, asapnya bercampur dengan uap kopi. Ia menghela napas panjang. "Lucu, ya. Kopi sachet itu murah, praktis, tapi bisa ngasih kita bahan obrolan panjang. Dari soal selera sampai filosofi hidup."
Kai menyandarkan punggung, menatap keluar warung yang berkabut air hujan. "Aku pikir karena kopi sachet itu dekat banget sama keseharian kita. Nggak perlu alat khusus, nggak perlu tempat mewah. Ia ada di kos-kosan mahasiswa, di ruang editan, di pos ronda, di rumah kontrakan. Sederhana, tapi selalu hadir di momen yang nggak kalah penting."