Kai meneguk sedikit kopinya. "Kopi itu teman paling setia kalau aku lagi deadline. Kadang aku capek, frustrasi, bingung harus revisi bagian mana. Begitu nyeruput kopi, ada dorongan kecil buat lanjut."
Niko mengangguk, lalu berkata sambil tersenyum samar, "Iya. Dan tiap orang punya jurus sendiri. Ada yang suka ditambah susu, ada yang harus pahit, ada yang minumnya sambil ngerokok. Aku sendiri sering anggap kopi sachet itu semacam jeda. Jeda yang murah meriah, tapi bikin kepala balik fokus."
Kai ikut tersenyum. "Yup, setuju. Cuma jurusnya juga lihat lokasi, lo. Di warung kayak gini, pilih apa yang ada. Kan, nggak lucu kalau di warung pinggir jalan kita nyari cappuccino."
Niko tertawa terbahak, sampai-sampai asap rokoknya ikut bergoyang. "Betul, Kai. Ada saat kita menyesuaikan diri dengan keadaan, ada saat kita bisa memilih sesuai selera. Di rumah mungkin Javapresso, di warung ya Kapal Api. Dan dua-duanya tetap bisa dinikmati."
Kai tersenyum, matanya menatap keluar ke gerimis yang mulai reda. "Iya, Nik. Dua-duanya penting. Karena hidup bukan hanya tentang bisa memilih yang kita mau, tapi juga tentang menikmati apa yang ada di depan mata."
Kai mengangkat gelasnya, menatap uap kopi yang naik. "Lucunya, aku bukan peminum kopi harian. Aku pencinta kopi, tapi nggak fanatik. Hanya butuh di saat-saat tertentu."
"Justru itu," Niko menyahut, "mungkin karena kita nggak tiap hari, momen saat kopi hadir jadi lebih terasa. Kayak sekarang ini. Kalau nggak ada hujan, nggak ada gorengan, nggak ada kopi sachet, obrolan kita mungkin nggak akan ngalir begini."
Kai tertawa kecil. "Setuju. Jadi kalau ada yang nanya, kopi sachet jagoanmu apa, aku bingung juga jawabnya. Karena lebih dari sekadar merek, itu tentang waktu, suasana, dan kenangan yang ikut larut dalam gelas."
Niko menghabiskan sisa kopinya, lalu berkata dengan nada reflektif, "Hidup itu mirip kopi sachet, ya. Tinggal pilih, sobek, tuang. Kadang kita bisa terima apa adanya, kadang perlu tambahan supaya pas di lidah. Intinya bukan soal rumit atau sederhana, tapi soal bagaimana kita menikmatinya."
Kai meneguk sisa kopinya, lalu meletakkan gelas dengan hati-hati. "Benar, Nik. Kadang yang sederhana, yang praktis, justru yang memberi arti. Kopi sachet mungkin sepele, tapi dia ada justru di saat-saat yang paling kita butuhkan."
Hujan mereda, menyisakan rinai tipis. Mereka terdiam, terbawa suasana. Hangat sederhana itu terasa cukup—seperti secangkir kopi sachet di sore basah yang menenangkan.