Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sugar Coating di Kantor: Manis di Lidah, Pahit di Karier?

3 Oktober 2025   19:34 Diperbarui: 3 Oktober 2025   19:42 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sugar coating di tempat kerja ibarat gula-gula: manis di luar, merapuh di dalam. Hindari demi karier yang jujur. (Foto: engin akyurt/Unsplash)

Bayangkan suasana rapat evaluasi kinerja di kantor. Seorang karyawan dengan tegang menunggu masukan dari atasannya. Harapannya sederhana: ia ingin tahu bagian mana yang perlu diperbaiki.

Namun, yang keluar justru kalimat penuh pujian: "Kamu sudah bagus, kok. Kerja kerasmu terlihat. Mungkin hanya perlu sedikit penyempurnaan saja."

Sekilas terdengar menenangkan, tetapi setelah itu, si karyawan justru pulang dengan kepala penuh tanda tanya. Apa yang dimaksud "sedikit penyempurnaan"? Bagian mana yang harus dibenahi?

Fenomena inilah yang sering kita sebut sebagai sugar coating. Kata-kata manis yang membungkus pesan dengan tujuan supaya terdengar lebih halus, lebih enak, dan tidak menyinggung.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal itu bisa dipahami. Namun, dalam dunia kerja, sugar coating sering kali membuat tidak nyaman. Ini bukan hanya tentang sikap atasan ke bawahan. Banyak karyawan pun melakukannya—bahkan lebih sering—kepada atasan mereka. Alasannya? Dari sekadar menjaga citra diri, menghindari konflik, sampai demi satu hal: jabatan idaman.

Apa Itu Sugar Coating?

Sugar coating dalam konteks komunikasi adalah kebiasaan menyampaikan pesan dengan cara yang sangat lembut, bahkan sampai mengaburkan makna sebenarnya.

Dalam praktik di kantor, lebih sering kita temui karyawan yang 'ngegula-gulain' atasannya. Saat ditanya soal perkembangan kerja, ia enggan mengaku ada kesalahan. Sebagai gantinya, ia berputar-putar sambil bercerita tentang 'ide cemerlang untuk ke depan'. Sekilas terdengar manis, tetapi sebenarnya cuma seperti permen kapas: besar di luar, rapuh di dalam.

Jika dibiarkan, atasan bisa hidup dalam ilusi gula-gula—kehilangan gambaran nyata tentang kondisi tim. Akibatnya, budaya seperti ini bisa membuat organisasi berjalan dengan informasi palsu—terlihat rapi di permukaan, padahal di dalamnya penuh tambalan.

Alasan Karyawan Melakukan Sugar Coating

Sikap ini muncul sering kali karena beberapa alasan berikut.

  • Takut menyinggung atau disalahkan. Tidak semua orang berani berkata jujur tentang kendala, apalagi jika atasan dikenal tegas.
  • Ingin menjaga citra diri. Terlihat selalu positif dan penuh ide baru dianggap lebih aman daripada mengakui kekeliruan.
  • Strategi bertahan. Dalam lingkungan kerja yang hierarkis, banyak karyawan memilih jalan aman: berkata manis agar tidak menimbulkan masalah.
  • Mengejar posisi. Kadang, sugar coating dipakai sebagai cara "membangun kesan baik" di mata atasan, dengan harapan suatu saat terbuka peluang promosi atau jabatan idaman.

Sekilas tidak ada yang salah. Namun, ketika terlalu sering dipakai, sugar coating bisa menimbulkan masalah baru.

Dampak Negatif Sugar Coating

Berikut beberapa masalah yang bisa timbul karena kebiasaan sugar coating.

  • Feedback jadi kabur: Baik atasan maupun karyawan yang seharusnya mendapat masukan jelas malah bingung apa yang harus diperbaiki. Akibatnya, kesalahan bisa terulang karena inti masalah tidak pernah diungkapkan.
  • Menurunkan kepercayaan: Komunikasi yang terlalu dibungkus membuat orang ragu: apakah ini kata-kata jujur, atau sekadar basa-basi? Ketika kepercayaan hilang, relasi kerja pun melemah.
  • Membentuk budaya organisasi yang tidak transparan: Jika atasan dan rekan kerja terbiasa dengan sugar coating, budaya perusahaan jadi penuh basa-basi. Tidak ada ruang untuk kritik jujur, sehingga masalah kecil menumpuk dan meledak di kemudian hari.

Dengan kata lain, sugar coating mungkin menyenangkan di permukaan, tetapi bisa menggerogoti fondasi hubungan kerja.

Komunikasi Sehat sebagai Alternatif

Apakah artinya kita harus bicara terus terang tanpa filter? Tentu saja tidak. Dunia kerja tetap membutuhkan sopan santun. Bedanya, komunikasi sehat mampu menyampaikan pesan dengan jelas sekaligus tetap menjaga hubungan baik.

Beberapa pendekatan praktis:

  • Feedback sandwich: Metode ini menggabungkan pujian, kritik, lalu solusi. Contoh: "Aku menghargai usaha kamu menyusun laporan ini. Namun, ada data yang belum konsisten. Mungkin kamu bisa cek kembali di bagian X agar hasilnya lebih akurat. Kalau butuh, aku siap bantu." Pesan tersampaikan, tetapi penerima tidak merasa dijatuhkan.
  • Komunikasi asertif: Bicara jujur tentang apa yang dipikirkan, sambil tetap menghargai lawan bicara. Tidak berputar-putar, tetapi juga tidak menyerang.
    Misalnya: "Saya melihat presentasi tadi belum menyertakan data pendukung. Kalau itu ditambahkan, pesanmu bisa lebih meyakinkan."
  • I-message: Menggunakan formula sederhana: "Saya merasa ... ketika ... karena ... saya berharap ..." Misalnya: "Saya merasa kesulitan ketika data tidak lengkap, karena itu menghambat proses analisis. Saya berharap kita bisa saling update data lebih rutin." Dengan pola ini, pesan terasa jelas tanpa menyalahkan individu.

Metode-metode ini bukan sekadar teori, melainkan cara praktis yang bisa langsung dipraktikkan di kantor.

Mengapa Dunia Kerja Membutuhkan Komunikasi Sehat?

Komunikasi yang sehat membawa dampak jangka panjang yang lebih positif dibanding sugar coating. Beberapa di antaranya:

  • Membangun kepercayaan: ketika orang tahu bahwa feedback yang diberikan jujur dan konstruktif, rasa saling percaya tumbuh lebih kuat.
  • Mendorong perbaikan nyata: kritik yang jelas membantu karyawan tahu apa yang harus dilakukan.
  • Menciptakan budaya terbuka: perusahaan yang terbiasa dengan komunikasi sehat cenderung lebih adaptif menghadapi tantangan karena masalah cepat ditemukan dan diselesaikan.

Dengan kata lain, komunikasi sehat bukan hanya soal kata-kata, melainkan juga soal membangun ekosistem kerja yang produktif dan berdaya saing.

Refleksi untuk Kita Semua

Sugar coating mungkin terasa nyaman, tetapi seringkali hanya menunda masalah. Dunia kerja yang sehat membutuhkan keberanian untuk bicara jujur sekaligus kepedulian untuk menyampaikannya dengan cara yang membangun.

Pertanyaannya, bagaimana dengan lingkungan kerja kita? Apakah masih penuh dengan sugar coating yang membuat pesan kabur? Atau sudah mulai berlatih komunikasi sehat yang jujur, tegas, dan saling mendukung?

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita: terus memelihara manis di permukaan, atau mulai membangun komunikasi yang benar-benar bermakna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun