Bayangkan seorang pejabat yang sibuk rapat, tanda tangan dokumen, atau menghadiri acara seremonial. Semua tampak sibuk, tetapi adakah yang benar-benar menyisihkan waktu untuk rapat paling penting dalam hidup seorang pejabat—rapat dengan buku?
Pertanyaan ini terasa sederhana, tetapi justru di situlah masalahnya. Rak buku rapi, tetapi lebih sering digunakan jadi latar Zoom daripada bahan refleksi.
Koleksinya mungkin tampak mengesankan, tetapi apakah isinya benar-benar dinikmati? Alih-alih membuka halaman, lebih sering yang terbuka adalah layar ponsel berisi ringkasan singkat, presentasi penuh poin, atau laporan satu halaman.
Padahal, membaca buku tidak bisa digantikan oleh infografik instan. Ada kedalaman, proses berpikir, dan refleksi yang hanya lahir dari halaman demi halaman yang dijelajahi dengan sabar. Literasi adalah investasi waktu yang pada akhirnya menghemat anggaran dan uang negara.
Mengapa Pejabat Perlu Membaca?
Seorang pejabat tidak hanya butuh popularitas, tetapi juga wawasan. Membaca adalah kebutuhan dasar untuk memperluas cakrawala, melatih kesabaran berpikir, sekaligus menumbuhkan empati.
Tanpa itu, kebijakan mudah terjebak pada solusi jangka pendek—seringkali berujung pada pemborosan anggaran (inefisiensi) karena harus direvisi atau diubah dalam waktu singkat.
Lihatlah Mohammad Hatta. Sejak muda ia mengoleksi ribuan buku, bahkan di pengasingan pun tetap membaca dan menulis. Tan Malaka menulis Madilog di tengah tekanan politik, menjadikannya salah satu karya paling visioner.
Mereka membuktikan, gagasan besar lahir dari kedekatan yang tulus dengan literasi.
Sekarang, bandingkan dengan budaya birokrasi kita yang serba instan. Keputusan sering didasarkan pada survei cepat atau bisikan orang terdekat. Jarang ada ruang untuk refleksi panjang.
Baca juga: Obrolan Dua Bocah yang Lupa TumbuhPadahal, pejabat yang tak membiasakan diri membaca berisiko kehilangan arah dan mudah tergiring kepentingan sesaat. Membaca juga melatih pejabat untuk melihat rakyat sebagai manusia, bukan hanya statistik atau objek pembangunan.
Pejabat yang membaca punya perspektif luas, mampu melihat persoalan dari berbagai sisi, dan memiliki kemandirian berpikir yang membantunya melawan groupthink atau didikte oleh kepentingan sempit.