Hari itu kelas enam terasa biasa saja, seperti hari-hari lainnya. Pelajaran berganti sesuai jadwal yang ada. Udara jelang siang mulai membuat mengantuk.
Kipas angin di langit-langit pun seolah berputar malas, sementara beberapa teman di sudut kelas sibuk mencoret-coret buku gambar mereka, menunggu waktu istirahat.
Aku duduk di belakang, sebangku dengan seorang teman yang tidak terlalu cerewet, tetapi selalu nyaman diajak diam bersama. Ia adalah tipe murid yang rajin, tulisannya rapi, dan sering jadi tempatku bertanya kalau ketinggalan catatan.
Kami tidak terlalu dekat, tetapi keberadaannya di sampingku membuat bangku itu tidak pernah terasa sepi, seolah ada kehadiran yang menenangkan di tengah hiruk-pikuk kelas.
Awalnya, tidak ada yang aneh saat dia berdiri, membenahi roknya yang terlipat. Sampai mataku menangkap sesuatu yang janggal di roknya. Ada noda kecil berwarna merah kecokelatan di bagian belakang roknya.
Seketika dadaku terasa aneh—antara kaget dan bingung. Aku tahu itu bukan tinta, bukan juga bekas tanah, melainkan sesuatu yang samar-samar pernah kudengar dari kakak atau ibu: darah haid.
Namun ... bukankah kami masih terlalu kecil untuk mengalami hal itu? Pertanyaan itu berkelebat di benakku, membuatku ragu.
Aku menatap wajahnya, ragu-ragu. "Eh ..." bisikku pelan sambil menunjuk roknya. Matanya mengikuti arah telunjukku, lalu wajahnya seketika pucat.
Ia buru-buru duduk kembali sambil memperhatikan sekeliling kelas. Aku bisa merasakan getar paniknya, meski ia tidak mengatakan apa-apa.
Antara Panik dan Perlindungan
Ia mendekatkan wajahnya ke meja, berusaha menyembunyikan diri dari pandangan teman-teman di sekitarnya. "Jangan kasih tahu siapa-siapa ...."
Suaranya hampir tak terdengar, penuh permohonan. Aku mengangguk cepat, meski jantungku ikut berdegup kencang. Ada perasaan ingin melindungi, tetapi juga bingung harus berbuat apa.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!