Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pelajaran Paling Berharga dari Sebuah Noda di Rok

18 September 2025   09:00 Diperbarui: 18 September 2025   09:14 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepotong momen di sekolah, ketika rasa malu bertemu kepedulian. Empati sederhana guru bisa jadi pelindung berharga. (Foto: Alex Shaw/Unsplash)

Hari itu kelas enam terasa biasa saja, seperti hari-hari lainnya. Pelajaran berganti sesuai jadwal yang ada. Udara jelang siang mulai membuat mengantuk.

Kipas angin di langit-langit pun seolah berputar malas, sementara beberapa teman di sudut kelas sibuk mencoret-coret buku gambar mereka, menunggu waktu istirahat.

Aku duduk di belakang, sebangku dengan seorang teman yang tidak terlalu cerewet, tetapi selalu nyaman diajak diam bersama. Ia adalah tipe murid yang rajin, tulisannya rapi, dan sering jadi tempatku bertanya kalau ketinggalan catatan.

Kami tidak terlalu dekat, tetapi keberadaannya di sampingku membuat bangku itu tidak pernah terasa sepi, seolah ada kehadiran yang menenangkan di tengah hiruk-pikuk kelas.

Awalnya, tidak ada yang aneh saat dia berdiri, membenahi roknya yang terlipat. Sampai mataku menangkap sesuatu yang janggal di roknya. Ada noda kecil berwarna merah kecokelatan di bagian belakang roknya.

Seketika dadaku terasa aneh—antara kaget dan bingung. Aku tahu itu bukan tinta, bukan juga bekas tanah, melainkan sesuatu yang samar-samar pernah kudengar dari kakak atau ibu: darah haid.

Namun ... bukankah kami masih terlalu kecil untuk mengalami hal itu? Pertanyaan itu berkelebat di benakku, membuatku ragu.

Aku menatap wajahnya, ragu-ragu. "Eh ..." bisikku pelan sambil menunjuk roknya. Matanya mengikuti arah telunjukku, lalu wajahnya seketika pucat.

Ia buru-buru duduk kembali sambil memperhatikan sekeliling kelas. Aku bisa merasakan getar paniknya, meski ia tidak mengatakan apa-apa.

Antara Panik dan Perlindungan

Ia mendekatkan wajahnya ke meja, berusaha menyembunyikan diri dari pandangan teman-teman di sekitarnya. "Jangan kasih tahu siapa-siapa ...."

Suaranya hampir tak terdengar, penuh permohonan. Aku mengangguk cepat, meski jantungku ikut berdegup kencang. Ada perasaan ingin melindungi, tetapi juga bingung harus berbuat apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun