"Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."(Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.)--- Ki Hajar Dewantara
Bukan hanya guru, orang tua pun sejatinya menyertai anak dalam setiap tahap belajar. Termasuk saat melangkah di hari pertama sekolah.
Sejak anakku berusia antara dua sampai tiga tahun, aku menempelkan gambar-gambar huruf dan angka di dinding rumah.
Aku tidak mengajarinya secara langsung. Aku hanya mengeja perlahan setiap kali kami melewati gambar-gambar itu. Lama-lama, ia tertarik. Lalu bertanya dan mengeja sendiri.
Saat ia mulai hafal, aku mengganti gambarnya dengan suku kata. Lalu kata-kata. Tetap bukan dalam bentuk pelajaran. Hanya upaya kecil untuk membuatnya merasa akrab, tertarik, dan ingin tahu.
Dengan cara itulah, ia mulai belajar membaca---bukan dari tekanan, melainkan dari rasa ingin tahu yang tumbuh perlahan di antara rutinitas rumah.
Ketika usianya mendekati masa masuk TK, aku mulai sering bercerita tentang sekolah. Tentang seragam dan teman yang banyak. Tentang ibu guru dan kegiatan bersama.
Aku ingin ia membayangkan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan, bukan asing dan menakutkan. Kami sering melewati sekolah yang sudah kupilih, terkadang berhenti sejenak---memperhatikan kegiatan di sana.
Suatu hari, saat kembali menengok sekolah, aku menunjuk ke dalam dan berkata, "Nanti Kakak di sana, ya. Main, belajar, dan baris sama teman-teman."
Ia menyimak dengan mata berbinar, lalu bertanya, "Bunda ikut masuk?"
"Tentu tidak, Kak," jawabku pelan. "Kan, yang sekolah Kakak, bukan Bunda."
"Tapi tadi Kakak lihat ada ibu-ibu yang ikut masuk ...."
Aku tersenyum. "Mungkin itu anaknya masih kecil. Kakak bilang Kakak sudah besar, kan?"
"Oh, iya. Kakak lupa," katanya sambil nyengir malu-malu.
Aku selalu mengajaknya saat pendaftaran sekolah, saat daftar ulang, bahkan saat membeli alat-alat sekolah. Aku memintanya memilih di antara pilihan yang kuberi.