Mohon tunggu...
Dita Rosalia Arini
Dita Rosalia Arini Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti dan Konsultan Hukum

memiliki ketertarikan dalam dunia penelitian dan kajian akademis dalam bidang hukum.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Alat Bukti DIketahui Palsu Setelah Adanya Putusan Hakim dalam Perkara Pidana, Bagaimana Konsekuensi Hukumnya?

11 Oktober 2023   12:42 Diperbarui: 11 Oktober 2023   13:09 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Alat bukti merupakan dasar dan tahap pertama suatu perbuatan atau peristiwa dapat dikualifikasi menjadi suatu perkara pidana. Dalam suatu perkara pidana, tahap awal yang dilakukan atas adanya suatu perbuatan hukum ialah dengan dilakukannya penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan hingga putusan pengadilan. Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan melakukan penyelidikan guna menyelidiki segala hal yang berkaitan dengan perbuatan tersebut yang selanjutnya akan dilanjutkan dengan tahap penyidikan yang dilakukan oleh para penyidik dengan mengumpulkan minimalkan 2 alat bukti yang sah yang memiliki kaitan dan berhubungan dengan perbuatan pidana yang dituduhkan guna menemukan siapa tersangka yang melakukan perbuatan pidana tersebut. alat bukti yang diperoleh oleh para penyidik harus melalui perolehan yang sah dan memenuhi syarat dalam Pasal 184 KUHAP. 

Alat bukti menjadi dasar dalam hukum pidana dalam penetapan tersangka. Alat bukti yang diakui dalam Pasal 184 KUHAP antara lain Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 

Selanjutnya, apa yang menjadi dasar suatu alat bukti tersebut dianggap sah dan kapan alat bukti tersebut menjadi tidak sah? suatu alat bukti dapat menjadi alat bukti yang sah menurut hukum apabila dalam perolehan alat-alat bukti tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sah sesuai dengan pedoman hukum, dilakukan oleh pihak yang berwenang dan alat-alat bukti tersebut sebagai bukti untuk membuktikan bahwa perbuatan pidana yang terjadi dilakukan oleh tersangka, termasuk juga sumber alat bukti tersebut adalah sumber yang sah dan tidak mengandung suatu kepalsuan ataupun kecacatan secara administratif maupun secara muatannya.

selanjutnya, setelah penyidik mengumpulkan 2 alat bukti tersebut dan menetapkan tersangka dan berkas-berkasnya telah P21 atau sudah komplit maka akan dialihkan berkas-berkas tersebut kepada kejaksaan guna keperluan penututan dalam persidangan pidana di Pengadilan. Suatu perkara disebut sebagai perbuatan pidana apabila didalam peristiwa tersebut mengandung muatan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sehingga pembuktian menjadi hal penting dalam proses perkara pidana. Oleh karena itu, Alat bukti dan barang bukti yang dipergunakan di persidangan pidana menjadi hal yang krusial guna menentukan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang. Dasar Hukum dalam pencarian suatu barang bukti yang sah dimuat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 yang mana mengatur mengenai pedoman dalam mendapatkan barang bukti pidana. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana apabila dalam suatu putusan perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut ternyata diketahui menggunakan alat-alat bukti yang berasal dari suatu kebohongan dan kepalsuan?

Cita-cita hukum nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Artinya, hukum hadir sebagai sarana bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan jaminan atas kepastian, keadilan serta kemanfaatan dari perlindungan hukum. 

Dalam perkara pidana, proses pembuktian menjadi suatu tahapan yang penting dan krusial guna menentukan ada tidaknya suatu perbuatan pidana yang terjadi dan dalam teori dualisme hukum, kesalahan sebagai syarat seseorang dapat dipidana dan dimintai pertanggungjawabannya secara pidana yang artinya kesalahan tersebut baru akan terlihat atau terbukti apabila ada alat bukti atau bukti-bukti yang membuktikan bahwa kesalahan yang dilakukan secara melawan hukum terjadi dan terjadinya perbuatan hukum memang dikarenakan oleh perbuatan yang dilakukan si pelaku melalui alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan perbuatan pidana tersebut. Begitu juga dengan majelis hakim, sebelum memutus perkara tersebut tentunya majelis hakim akan meyakini dan mempertimbangkan bukti-bukti tersebut sebagai alasan yang membuktikan bahwa si terdakwa adalah pelaku perbuatan pidana. 

Yang menjadi persoalan adalah ketika pada akhirnya setelah putusan tersebut Diputus dan berkekuatan hukum tetapi ternyata fakta yang terjadi adalah alat bukti yang digunakan dipersidangan tersebut adalah palsu maka oleh hukum Indonesia diberikan sarana bagi para pencari keadilan untuk melakukan Upaya Hukum luar biasa yang dikenal sebagai Peninjauan Kembali. Akan tetapi, apabila pada realiita yang terjadi ternyata hingga putusan peninjauan kembali tersebut bukti-bukti yang digunakan tetap menggunakan bukti yang palsu maka berdasarkan teori hukum pidana yang memberikan kepastian dan teori dualisme. Maka menurut hemat penulis, Putusan pidana tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang memuat nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang mana dapat dikatakan bahwa putusan tersebut batal demi hukum.

kenapa batal demi hukum? karena berdasarkan teori-teori hukum pidana, suatu kepalsuan merupakan kecacatan dalam mewujudkan kepastian hukum sehingga apabila seseorang yang divonis bersalah dan dihukum pidana dengan berdasarkan alat-alat bukti yang tidak sah maka sudah seharusnya putusan yang mengandung kecacatan tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengandung nilai-nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Namun, yang menjadi perhatian kita adalah bahwa apabila putusan pidana tersebut telah sampai pada tahapan Upaya Hukum Luar Biasa atau dikenal dengan Peninjauan Kembali (PK) maka berdasarkan peraturan hukum Indonesia sudah tidak ada lagi Upaya hukum yang dapat dilakukan termasuk Upaya Peninjauan Kembali yang hanya dapat dilakukan 1kali guna menjamin kepastian hukum. Namun, apabila suatu dasar hukum dan bukti yang digunakan dalam Upaya Peninjauan Kembali menggunakan alat-alat bukti yang tidak benar dan mengandung kepalsuan maka sudah seharusnya kita semua sebagai pemerhati hukum melakukan reformasi hukum dan menemukan upaya apa yang dapat dilakukan. Mengingat adagium hukum 

"Lebih baik membebaskan 1000 penjahat daripada menghukum orang yang tidak bersalah" yang mana adagium ini merupakan suatu pengingat bagi para penegak hukum bahwa Menghukum orang yang tidak bersalah merupakan suatu pengkhianatan terhadap cita-cita hukum Indonesia yakni Pengkhianatan terhadap asas Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun