Mohon tunggu...
Dani Iskandar
Dani Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibadah itu Pilihan

16 Februari 2018   17:50 Diperbarui: 16 Februari 2018   18:07 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ups.. Lha kok..

Ibadah itu wajib tauk.. Ibadah kok pilihan.

Almarhum KH Zainuddin MZ rahimahullah, pernah bercerita. Suatu ketika ia mendapati jamaah pengajiannya berasal dari daerah yang jauh dari mesjidnya. Ia bertanya, mengapa bapak jauh-jauh datang ke sini, bukankah didekat rumah bapak ada mesjidnya, "ada", jawab si bapak, lalu mengapa kesini secara rutin. "Karena kajian yang ustad berikan pas di hati saya". Oh begitu. Muncul kata "Pas di Hati". Waahh kalau sudah urusan Pas di Hati ini sudah repot ini. Orang yang sedang pendidikan, belajar di luar negeri sana, bisa dan mau berjalan bermil-mil jauhnya hanya memenuhi undangan kedutaan Indonesia di luar negeri atau orang Indonesia yang menetap di sana bikin hajatan hanya karena ingin makan nasi dan sambal. Begitu nikmatnya makanan lokal itu serasa makan di kampung halamannya sendiri.

Ibadah itu Kewajiban

Sejatinya ibadah merupakan kewajiban seorang manusia kepada Tuhannya. Namun, karena proses, pelaksanaan, wadah atau media dalam kegiatan ibadah yang dikelola manusia itu menjadi tidak pas di hati seseorang, hal tersebut menyebabkan orang itu mencari cara, praktek, tempat, kajian yang lebih pas menurut dirinya, sesuai di hatinya. Dalam Islam banyak terjadi hal seperti itu, dari kecil dia ikut orang tuanya beribadah, sholat sesuai ajaran NU tetapi dia menetap di sekitar lingkungan Muhammadiyah, seringkali orang tersebut beribadah, sholat, mengaji di mesjid atau perkumpulan NU, dia akan mencari tempat atau mesjid NU, demikian sebaliknya. Namun kalau tidak ketemu, baru dia mau tidak mau ikut ibadah di mesjid di lingkungannya tersebut.

Demikian pula halnya ketika di lingkungan NU sendiri, pengurus mesjidnya berlaku tidak sesuai dengan pemikiran, hati seseorang yang juga menganut NU, maka ia akan mencari mesjid NU lainnya yang lebih pas kajiannya, gaya beribadahnya dan sebagainya. Dan terakhir, ketika mesjid atau rumah ibadah tidak bisa lagi atau tidak sesuai menyediakan ustad atau pemuka agama yang memberikan ceramah agama yang pas di hati masyarakat, maka mereka lebih memilih menonton ceramah melalui media televisi, internet, radio dan video lainnya. Ini lah yang terjadi saat ini

Lalu apakah yang menjadi pas tidaknya tempat ibadah memikat hati umatnya? Ada beberapa faktor seperti:

- Penggunaan pengeras suara. Seringkali mesjid tidak memiliki standar volume pengeras suara, alih-alih menyadarkan umat, membuat syahdu suasana, menenteramkan, membuat umat terngiang-ngiang mengikuti lantunan bacaan Quran, yang ada malah polusi suara. Kaset disetel kencang-kencang, lalu ditinggal, sementara waktu sholat masih 1 jam lagi. Belum lagi pengajian dimulai jam 10-11 malam di saat tubuh perlu istirahat. Atau pas musim puasa, mikropon menjadi mainan anak-anak berteriak-teriak. Akhirnya, umat mencari mesjid yang membuat orang lebih khidmat, khusuk dan tenang dalam beribadah.

- Kebanyakan bercanda dalam mengaji. Candaan dalam mengaji boleh-boleh saja, namun porsinya harus pas. Mengaji tanpa candaan membuat garing, dan mengantuk. Apalagi jika kajiannya berat. Namun, ketika porsinya berlebihan, penceramah tak ubahnya seperti pelawak atau sedang stand up comedy. Alih-alih kajian tersampaikan yang diingat umat hanyalah lawakan belaka.

Tak ubahnya seperti ustad tv. Ustad tv itu kalau kita padatkan ceramahnya hanya 10 menit saja dari tayangan setengah jam atau 20 menit dari durasi 1 jam tayang. Sisanya adalah iklan, ocehan pembawa acara atau host dan nyanyian jika ada. Lalu apa yang didapat umat dalam waktu 10 atau 20 menit itu, ingatnya ya wadimor, sarung atlas, sirop marjan, lagu opik, dan tagline-tagline seperti jamaaaahh oh jamaaahh ustad maulana atau ketawanya atau curhat dong mah nya mamah dede. Ok, itu di televisi memang porsinya seperti itu.

Lalu, kalau di mesjid-mesjid kampung ceramahnya seperti porsi ustad tv, apa yang diperoleh umat? Ya, bercanda, bercanda dan bercanda. Tetap saja, sholatnya balapan, doanya sapu jagat, perasaannya mendengki ke sesama. Kajian itu tidak membekas di dada. Tidak merasuk di hati. Sama halnya dengan guru matematika ketika mengajar a + b = c. Guru yang baik pasti juga mengajarkan bahwa a itu = c - b dan b = c - a. Jadi umat tau a, b dan c itu dari mana.

Perumpamaan yang baik adalah contoh-contoh yang berdasar. Misalkan, dulu di zaman rosulullah saw demikian. Di zaman sahabat nabi ada kejadian begini. Tapi kalau contoh-contoh dan analoginya dibuat-buat, mengada-ada, dicari-cari lelucon biar suasana ramai, lucu, ini sudah tidak pas lagi. Akhirnya orang akan mencari mesjid tempat kajian yang teduh dan meneduhkan.

- Bergeser motifnya. Alih-alih mau memperdalam ilmu agama, seringkali jamaah ilmu ini menjadi ajang fasion show, awalnya mulai dari bikin seragam, lama kelamaan jadi rutin bikin seragam, mulai dari hijab, baju, tas, mukena dan sebagainya. Lalu melancong ke sana ke mari, alasannya sih biar gak bosen, namun ujung-ujungnya ilmunya tetap segitu-segitu saja tidak nambah-nambah, yang nambah koleksi bajunya hehehe

- Bacaan yang tidak pas. Untuk beberapa orang yang paham agama, bacaan yang baik dan benar adalah kunci utama ibadah. Banyak ustad, guru dan muadzin hanya mementingkan lagu, suara, daripada makhraj, panjang pendeknya bacaan. Hal ini tentulah sangat fatal. Karena ia adalah imam di mesjid tersebut, sudah tua, dipanggil sebutan ustad, bacaannya belepotan, kita yang mau menegurnya takut dimarahi, mau negur dianggap tidak sopan, dibiarkan mengubah arti bacaan. Akhirnya kesalahan demi kesalahan yang terjadi di mesjid pun tidak pernah dikoreksi. Dan orang-orang yang merasa tidak pas dengan bacaan si ustad maupun muadzin tadi pergi meninggalkan mesjid walaupun dekat dengan rumahnya dan mencari mesjid yang pas di hatinya

- Anak-anak yang ribut. Sebagian orang akan marah dan mengatakan ini cara kita memperkenalkan ibadah kepada anak-anak. Tapi mereka tidak memperkenalkan cara Islam mendidik anaknya di tempat umum apalagi rumah ibadah, mesjid. Bagaimana agar tertib, sopan santun, tenang di dalam mesjid. Mereka cari dalil-dalil yang membiarkan, membolehkan anak bermain di mesjid. Alih-alih orang-orang tua yang pengen khusuk beribadah di mesjid, anak-anak tadi pergi ke mesjid sering tanpa sepengetahuan orang tuanya, atau bapaknya sekalipun tak pernah sholat di mesjid. Bagaimana mau negur orang tuanya. Ironi.

Demikianlah ketika kita saat ini berhadapan dengan pilihan dimana ibadah yang merupakan kewajiban itu pun kini harus berhadapan dengan urusan Pas di Hati. Dahulu di saat penduduk bumi belum segini ramainya, nyinyir belum segini lancangnya, orang beribadah, mengaji, tidak milih-milih tempat, tidak milih-milih ustad dan tidak milih-milih media, semua standarnya sama, karena agama itu standar, aturan yang tidak bisa dimodifikasi, yang harus disampaikan apa adanya tanpa perlu kreasi yang menyebabkan nilainya runtuh.

Imlek 2018

16 Februari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun