Penghematan terus saya lakukan sampai bulan Juni 2020. Namun, bak disambar petir di siang bolong, pada pertengahan Juli 2020, saya mendapatkan kabar bahwa kontrak kerja saya tidak diperpanjang alias saya di PHK.
Benarlah kata pepatah bahwa nasib tak ada seorangpun yang tahu dimasa kedepannya, baik buruknya hanya Sang Pencipta yang Maha Mengetahui. Itulah yang saya alami.
Ketika mengetahui bahwa saya tidak lagi menerima gaji bulanan dalam waktu dekat, saya dilanda kegelisahan.
Jujur, hati kecil berkecamuk bagaimana saya harus mengelola finansial di tengah kondisi ketidakpastian yang tinggi ini.
Tabungan yang tersedia pun tidak terlalu banyak. Saat itu, saya mulai berhitung berapa lama saya dapat bertahan dengan jumlah tabungan yang masih tersedia.
Dalam hati, saya berkata apapun resikonya, tabungan yang tersisa harus cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami bertiga (saya dan kedua orang tua), membelikan obat dan membiayai mereka ke dokter secara rutin per bulannya.Â
Nah, ada satu masalah yang masih membebani pikiran saya saat itu adalah bagaimana saya harus membayar cicilan KPR.
Setiap bulannya, saya harus membayar cicilan KPR sebesar Rp 5.7 juta. Otak ini berkecamuk memikirkan hal tersebut.
Pada waktu itu, saya yakin bahwa cara paling efektif mengurangi komponen pengeluaran di saat pandemi Covid-19 adalah memotong pembayaran angsuran bank.
Restruksturisasi kredit KPR
Solusi yang terpikir oleh saya pada waktu itu ada dua yaitu meminta restrukturisasi kredit KPR ke bank dan menjual rumah (take over atau cash) kepada pihak lain.Â