Mohon tunggu...
Dionisius Yusuf
Dionisius Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang pendidik

Seseorang yang sedang belajar menulis tentang banyak hal, silahkan colek saya di IG @ichbindion, dan FB Dionisio Jusuf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hari Keempat Karantina di Wisma Atlet: Sang "Pahlawan" dalam Kesunyiaan

9 Agustus 2020   12:04 Diperbarui: 11 Agustus 2020   15:38 2383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya ilustrasi | Foto milik: (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Tulisan hari keempat selama saya dirawat di Wisma Atlet, saya dedikasikan khusus kepada mereka yang sudah dengan tulus membantu pasien penderita Covid-19--termasuk saya--di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.

Teman-teman tentu bertanya-tanya, siapakah sosok yang saya maksud itu?

Sebagian dari kalian pasti berpikir, ah...pasti dokter jaga, kalau bukan dokter pasti perawat. Sebagian lagi mungkin berpikir tentara atau polisi yang sedang ditugaskan di Wisma Atlet. Tapi bukan, bukan mereka yang saya maksud.

Hari ini, saya ingin menulis dan berbagi cerita kepada kalian tentang sosok yang bertugas membersihkan setiap sisi ruang Wisma Atlet agar selalu dalam kondisi bersih baik itu lantai maupun pegangan tangga, membuang sampah yang dihasilkan oleh pasien, dan membersihkan setiap kamar jika ada pasien yang sudah pulang. 

Selain itu, sosok ini juga harus membantu mengantarkan makanan dan minuman ke setiap lantai di Wisma Atlet yang berjumlah 32 lantai. Guys, mereka adalah petugas cleaning service (petugas kebersihan) Wisma Atlet.

Jujur saya terharu dan hampir mau meneteskan air mata ketika saya boleh berbincang dan bertemu dengan beberapa sosok dari mereka. Walau waktu yang tersedia buat saya untuk berbincang dengan mereka tidak terlalu lama, tetapi saya dapat merasakan betapa beratnya tugas dari mereka. 

Bagi saya, mereka patut disebut juga pahlawan bagi oleh kami para pasien Wisma Atlet. Saya kagak sanggup membayangkan apa jadinya Wisma Atlet tanpa kehadiran mereka.

Mereka adalah garda terdepan dalam membuat Wisma Atlet menjadi "layak huni" oleh kami para pasien. Mereka bekerja dengan tulus. 

Siang dan malam. Hampir seluruh hidup mereka dari bulan April 2020 (atau ada yang mulai dari Maret 2020) sampai detik ini mereka dedikasikan buat kami para pasien. Ketika saya bercakap dengan mereka, saya dapat merasakan betapa berhutang budinya saya kepada mereka. 

Tanpa kehadiran mereka, mungkin saya akan lebih lama lagi disini. Ya....lebih lama lagi. Mengapa?

Dapat dibayangkan betapa kotornya Wisma Atlet kalau tidak dibersihkan setiap hari. Betapa tidak hygienis-nya setiap kamar dan ruangan kalau tidak disemprot ketika pasien sudah pulang. Siapa yang akan melakukan itu semua kalau bukan sosok "pahlawan" tersebut.

Hari ini, seperti biasa, ketika saya mau mengambil jatah makan di ruang poli (sekaligus mengukur tensi, denyut nadi dan suhu), saya melewati ruangan yang diperuntukan untuk menyimpan sampah yang akan dibuang. Sebut saja gudang sampah. 

Setiap lantai di Wisma Atlet memiliki gudang sampah yang didalamnya terdapat beberapa dustbin Kleanovo dan berbagai alat yang digunakan untuk membersihkan setiap lantai di Wisma Atlet. Ukuran gudang sampah tidak terlalu luas. Mungkin berukuran 3 x 3 meter. Gudang ini mampu menampung 3-4 dustbin Kleanovo berukuran 120 L.

Dari dalam gudang sampah di lantai 18 pada siang itu, saya melihat ada satu sosok laki-laki yang sedang bekerja membereskan sampah di salah satu dustbin.

Lalu saya menghampiri sosok tersebut. Sosok tersebut sangat ramah ketika saya ajak berbicara. Dia mengenakan baju Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. 

Selain menggunakan baju APD lengkap, dia juga menggunakan face shield, masker, dan sarung tangan. Dengan jelas, saya dapat membaca nama sosok laki-laki tersebut di baju APD-nya. Nama sosok yang ramah tersebut adalah Mas Gandis yang berasal dari Tangerang. Umur Mas Gandis masih sangat muda, yaitu 23 tahun. 

Singkat cerita saya mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan Mas Gandis walau tidak terlalu lama. Tapi dari percakapan singkat tersebut, saya dapat merasakan betapa berat dan beresikonya pekerjaan yang dilakukan oleh Mas Gandis.

Saya benar-benar salut dan terharu mendengar kisah Mas Gandis yang bekerja di Wisma Atlet. Saya yakin mungkin banyak diantara teman-teman yang membaca kisah ini belum tentu mau bekerja di Wisma Atlet ketika ditawari pekerjaan ini.

Ketika saya bertanya kenapa dia mau bekerja di Wisma Atlet yang penuh dengan resiko, Mas Gandis berujar dengan nada agak melemah, "Ya mau gimana lagi, kontrak kerja saya di Mall Puri Indah berakhir pada bulan Maret 2020, sedangkan saya membutuhkan uang. Jadi, pas ditawarin oleh perusahaan, mau kagak kamu kerja di Wisma Atlet, ya sudah saya iya kan saja. Sebenarnya lebih enak di Mal Puri Indah. Cape kerja di sini," ujarnya.

Lebih lanjut Mas Gandis menjelaskan bahwa dia bekerja di Wisma Atlet sebagai tenaga outsourcing PT. ISS. Dia mulai bekerja di Wisma Atlet dari bulan April 2020.

Dia dikontrak selama tiga bulan. Kontrak dia berakhir pada bulan Juni lalu. Karena Wisma Atlet masih beroperasi, maka kontrak dia diperpanjang tiga bulan lagi.

Lalu saya menanyakan sampai kapan dia akan bekerja di Wisma Atlet, Mas Gandis berkata, "Saya akan tetap bekerja di Wisma Atlet selama Wisma Atlet masih beroperasi dan kalau saya masih dibutuhkan. Habis mau kerja dimana lagi situasi lockdown seperti ini. Kalau saya tidak bekerja, siapa yang mau membiayai kebutuhan keluarga saya?"

Mas Gandis menceritakan bahwa sebelum dia bekerja di Wisma Atlet, dia bekerja sebagai cleaning service di Mal Puri Indah selama dua tahun.

Selama bekerja di Wisma Atlet, Mas Gandis ditempatkan di tower 7. Dia mengatakan bahwa dia bersama dua rekannya bertugas membersihkan tiga lantai di tower 7. 

Mas Gandis harus bekerja selama 8 jam per hari. Berhubung Wisma Atlet harus selalu streril dan bersih, maka sosok seperti Mas Gandis harus bekerja dalam tiga shift. 24 jam penuh. Ketika saya bertanya berapa orang yang bekerja di Wisma Atlet, Mas Gandis berujar, "Total yang bekerja di sini ada 120 orang. 

Sebagian besar adalah laki-laki. Mereka bekerja di tower 4, 6 dan tower 7." Lalu Mas Gandis melanjutkan bahwa dia bekerja dibawah supervisi seorang leader. Seorang leader yang membawahi 20 orang petugas kebersihan. Leader tersebutlah yang membagi shift setiap minggunya.

Percakapan kami semakin menarik, terutama ketika saya menanyakan kepada Mas Gandis tentang kondisi teman-temannya, apakah ada yang terpapar virus Covid-19. Mas Gandis bertutur, "Alhamdullilah sampai hari ini belum ada yang terkena virus Covid-19. Jujur kami semua khwatir dengan keselamatan kami, tetapi ya mau gimana lagi. Hati-hati saja pas kerja." Mas Gandis lalu bercerita bahwa setiap hari mereka mengganti APD yang dipakai. 

APD yang sudah dipakai lalu diserahkan kepada tentara untuk dibakar. Jika dia bertugas Kembali, maka dia akan menggunakan APD baru.

Mas Gandis menyatakan bahwa memakai APD hukumnya wajib sebab Wisma Atlet termasuk zona merah. Setiap petugas kebersihan seperti dirinya harus memakai APD lengkap demi melindungi diri dari penularan Covid-19. Mas Gandis mengucap syukur bahwa selama dia bekerja di Wisma Atlet, dia mengaku belum mengalami keluhan penyakit apapun juga.

Mas Gandis melanjutkan ceritanya bahwa dalam satu bulan dia bekerja selama dua minggu. Setelah dua minggu, dia akan dikarantina. Sebelum bertugas kembali, dia akan menjalani tes untuk melihat apakah dia masih sehat atau tidak. Begitu seterusnya.

Ketika saya bertanya bagaimana dengan keluarga dirumah, saya dapat melihat bahwa mata Mas Gandis menerawang jauh seakan ada yang dipikirkannya. "Selama kerja disini dari bulan April, saya belum pernah pulang ke rumah.

Ada rasa kangen juga dengan orang rumah. Tapi mau apa lagi, saya memang tidak dapat pulang ke rumah. Setelah bertugas dua minggu, harus dikarantina dua minggu," ujar Mas Gandis. Tampak muka kesedihan di wajah Mas Gandis. Tidak dapat ditutupi rasa kangen yang mendalam dari sosok Mas Gandis terhadap keluarganya di Tangerang. 

Mas Gandis menuturkan kesedihan terdalam adalah ketika lebaran tiba pada bulan Mei lalu dimana dia tidak dapat pulang berlebaran bersama keluarganya. "Saya paling sedih ketika mau menyambut Idul Fitri, apalagi pas malam takbiran. Saat malam takbiran, saya masih bekerja. Kangen rasanya untuk pulang. Tapi kagak bisa pulang," ujarnya.

Faktor ekonomi memang menjadi salah satu daya tarik kenapa seorang Mas Gandis sampai berani mengambil resiko pekerjaan ini. Dari percakapan dengan Mas Gandis, saya mengetahui bahwa mereka yang bekerja sebagai tenaga kebersihan mendapatkan penghasilan yang cukup memadai. 

Disamping gaji bulanan dengan standar UMR kota Jakarta, mereka juga mendapatkan insentif setiap bulannya, yaitu sebesar Rp 2 juta. Selain itu, seluruh "pahlawan" ini ditempatkan di Wisma Atlet. Petugas laki-laki ditempatkan di tower 3, sedangkan petugas wanita menempati tower 2. Kalau masalah makanan jangan ditanya. Sama seperti pasien, seluruh petugas kebersihan mendapatkan jatah makan 3 kali sehari. Hanya saja mereka tidak mendapatkan snack seperti halnya pasien Wisma Atlet. 

Hmmm... memang kalau sudah bicara uang dan kebutuhan hidup, siapapun yang terdesak akan berani mengambil resiko even pekerjaan tersebut penuh dengan resiko.

Tetapi terlepas dari faktor ekonomi, saya melihat bahwa Mas Gandis tetap dmelaksanakan tugasnya dengan baik. Mungkin ada panggilan jiwa untuk bekerja di jalan kebaikan. Tak tahulah... tapi terlepas dari itu, diakhir percakapan, saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Mas Gandis yang telah mengorbankan dirinya bekerja di Wisma Atlet guna membantu kami, pasien Wisma Atlet.

Usai tidur siang, saya bersiap untuk beraktivitas di sore hari. Biasa guys, olahraga ringan. Dengan langkah ringan saya melangkahkan kaki ke luar ruangan.

Nah guys, pas saya keluar ruangan, saya melihat rekan sejawat Mas Gandis sedang mengambil tumpukan sampah yang ada di setiap kamar di lantai 18.

Samar-samar terlihat sosok tersebut lagi jongkok di depan tempat sampah. Oh ternyata, dia lagi memasukkan sampah ke plastik yang sudah tersedia. 

Kalian jangan membayangkan bahwa tempat sampah yang tersedia adalah tempat sampah seperti di rumah teman-teman. Bukan.....sekali lagi bukan. Tempat sampah yang tersedia di setiap kamar adalah karton bekas air mineral atau karton bekas makanan. Dua karton "sampah" ditempatkan di setiap samping pintu kamar. 

Setiap pasien lalu membuat sampah di kedua karton tersebut. Setiap hari (2 kali sehari), petugas kebersihan akan mengambil sampah tersebut. Sosok yang saya lihat ternyata bernama Mbak Gea. Saya melihat jelas nama dia karena tertera dengan jelas di baju APD yang dia kenakan.

Namun sayangnya saya kagak sempat ngobrol dengan dia karena Mbak Gea sepertinya enggan untuk diajak bicara karena sedang sibuk mengambil sampah yang masih menumpuk. Setelah mengintip sebentar apa yang dilakukannya, lalu saya berlalu menunju lantai 16.

Teman-teman semua, bagi saya sosok Mas Gandis dan Mbak Gea ataupun siapa saja yang bertugas di garda terdepan sebagai petugas kebersihan adalah pahlawan. Mereka berjibaku bekerja di dalam kesunyian. Tanpa mengharapkan balas jasa dan pengakuan dari siapapun jua. Mereka bekerja dengan ikhlas dan tanpa pamrih. 

Bagi Mas Gandis dan Mbak Gea bekerja di Wisma Atlet adalah amanah yang harus dijalankan.

Doa saya, semoga lelah kalian menjadi berkah. Beribu terima kasih saya sampaikan atas dedikasi mas-mas dan mbak-mbak petugas kebersihan Wisma Atlet.

Semoga Tuhan YME membalas segala keikhlasan dan kebaikan mas-mas dan mbak-mbak.

Sang pahlawan. dokpri
Sang pahlawan. dokpri
Sang pahlawan. dokpri
Sang pahlawan. dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun