Mohon tunggu...
Dionisius Riandika
Dionisius Riandika Mohon Tunggu... Guru - Seorang Educator, Hipnomotivator, Hipnoterapis, Trainer, Penulis

Lahir di Kota Ambarawa, Kabupaten Semarang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kekeliruan Memotong Tumpeng

7 Mei 2023   05:31 Diperbarui: 7 Mei 2023   06:49 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tumpeng akan sangat mudah dijumpai dalam berbagai acara yang berkaitan dengan ungkapan syukur. Syukur atas kelahiran anak. Syukur atas ulang tahun. Syukur atas panenan. Syukur atas keberhasilan atau ketercapaian meraih sesuatu. Syukur atas peresmian gedung, usaha, maupun proyek-proyek. Serta syukur-syukur yang lain.

Tumpeng seolah menjadi simbol yang wajib ada dalam setiap acara bertema syukur. Tumpeng umumnya dibuat dari nasi kuning dan dibuat dalam bentuk kerucut dengan bagian runcing menghadap ke atas. Tumpeng dilengkapi dengan tujuh macam sayur serta lauk tradisional, seperti urap, tahu, tempe, telur, ikan asin, mi goreng, dan sambal goreng.

Bentuk tumpeng serta tujuh macam makanan tradisional yang menyertainya memiliki nilai filosofis. Bentuk kerucut bermakna spiritual. Melambangkan relasi antara manusia dengan alam ciptaan serta Tuhan sebagai Sang Pencipta. Manusia bersama dengan alam dilambangkan dengan bagian bawah kerucut. Sedangkan Tuhan sebagai Sang Mahatunggal dilambangkan sebagai puncak kerucut. Manusia serta seluruh alam berkiblat kepada satu-satunya Pencipta dan Sang Sumber Kehidupan. Hanya karena Tuhanlah, manusia dan alam dapat bersinergi dalam kehidupan. Tak satu pun hal yang terjadi tanpa kehendak Sang Mahakuasa. Dengan demikian, puji dan syukur hanya pantas dihaturkan kepada Tuhan.

Tujuh rupa makanan tradisional yang melengkapi sajian tumpeng bermakna pitulungan (bahasa Jawa) yang artinya pertolongan. Ini mengandung makna bahwa hidup manusia dalam relasinya dengan alam hanya terjadi berkat pertolongan Tuhan. Tujuh rupa makanan melambangkan syukur atas alam yang dianugerahkan bagi kehidupan manusia. Sekaligus menjadi lambang persembahan total kepada Tuhan. Segalanya berasal dari Tuhan dan dipersembahkan seutuhnya demi kemuliaan Tuhan.

Selanjutnya, dalam setiap acara yang menghadirkan tumpeng, akan kita jumpai prosesi pemotongan tumpeng. Sejatinya, hal ini tidak tepat dilakukan. Melihat nilai filosofis tumpeng yang dikemukakan di atas, dengan memotong tumpeng berarti memutuskan relasi antara Tuhan dengan manusia serta alam ciptaan.

Tindakan simbolis yang tepat adalah dengan mengeruk bagian tengah atau bagian bawah tumpeng hingga bagian puncak tumpeng turun dan menyatu dengan bagian bawahnya. Ini melambangkan bersatunya manusia, alam, dengan Tuhan Sang Pencipta. Manunggaling kawula Gusti (bahasa Jawa), yang artinya bersatunya Tuhan dengan ciptaan-Nya. Kebersatuan inilah yang menjadi puncak harapan spiritual yang diyakini menjadi sumber dan keberlangsungan kehidupan.

Melalui uraian di atas, jelas bahwa memotong tumpeng justru menjadi simbol yang kontras dari filosofinya. Memotong tumpeng melambangkan memutus relasi antara manusia dan alam dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Dari sisi ini, sangat jauh dari sifat syukur. Terlebih kalau dilihat dari aspek harapan bahwa manusia selalu bergantung semata-mata kepada Sang Ilahi. Dengan memotong tumpeng, semua itu justru terjauhkan.

Maka, mulai sekarang kita bisa bijak menggunakan tumpeng sebagai simbol. Pun dalam ritualnya, tumpeng tidak lagi dipotong melainkan dikeruk. Dengan demikian, relasi harmonis antara manusia dan alam dengan Tuhan senantiasa terjadi. Terus menerus dari masa ke masa. Dengan bertemunya puncak tumpeng dengan bagian di bawahnya menandai kerendahan hati Tuhan yang rela turun menyapa ciptaan-Nya. Menyatu dan bersama-sama dalam karya kehidupan serta pergulatan manusia berziarah melintasi waktu di alam raya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun