Mohon tunggu...
Dion Ginanto
Dion Ginanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Dion Ginanto received his undergraduate degree in TESOL (Teaching English as a Second Language) from Jambi University. He was awarded “MAWAPRESNAS” (the best student award by the Ministry of Education and Culture) in 2006. He was also an AIYEP-er 2007/2008 (Australia Indonesia Youth Exchange Program). In 2009, he joined to the short course training of the KAPLAN TKT program in New Zealand. Currently, he is doing his master at Michigan State University (MA, K-12 Educational Administration). He has published his first book entitled: “Jadi Pendidik Kreatif dan Inspiratif: Cara Mengobati 10 Penyakit Profesional. He works at SMA N 1 Batanghari, Jambi, as a teacher. He also teaches at Islamic State University Jambi, and IAIN Batanghari Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Diskriminasi Pendidikan atas Nama Agama

22 Februari 2019   10:32 Diperbarui: 21 Oktober 2020   22:06 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Mister, di mana saya dapat memperoleh soal ujian Agama?" Saya yang kebetulan menjadi penitia ujian semester heran dan malah kembali bertanya, "Loh, kan kami sudah berikan secara lengkap sesuai jumlah daftar hadir, apa masih kurang?"

"Bukan Sir, agama saya Kristen, tapi yang ada hanya soal Agama Islam."

"Astaghfirullahalazim,..." saya pucat pasi. "Sebentar nak, saya cek dulu." Setelah bertanya pada ketua dan sektretaris panitia, ternyata soal untuk siswa agama Kristen belum sampai. Masih dalam perjalanan dibawa oleh Bapak Pastur. Rasa bersalahpun menggeluti hati. 

Betapa siswa non-Muslim di sekolah saat itu harus tersela konsentrasinya karena soal belum tiba. Belum lagi, mereka harus kehilangan banyak waktu atas keterlambatan soal. Dalam hati saya bergumam, hal ini tidak akan terjadi apabila siswa beragama Kristen mempunyai guru PNS di sekolah, sebagaimana siswa Agama Islam yang memiliki tiga guru Pendidikan Agama Islam.

Belum lagi disaat teman-teman Muslim bercengkrama dengan keluarga di rumah selepas solat Jumat, mereka masih harus mencari jam tambahan untuk belajar Agama. Pun mereka harus belajar di Gereja, bukan di dalam kelas, bukan di sekolah. 

Diajar oleh Pastur atau Pendeta, bukan guru abdi negara. Kenapa mereka harus menjadi beda? Mengapa pemerintah tidak mengangkat satu atau dua guru PNS yang bertugas mengajar di kabupaten, jika satu guru per-satu sekolah dirasa tidak memungkinkan?

Masih ada beberapa praktek "diskriminasi" lain kepada siswa non-muslim di sekolah. Dalam prosesi berdoa pagi misalnya, meski sudah SMA, banyak pelajar masih sering berdoa dengan melafazkan surah Alfatihah dengan suara nyaring seperti layaknya siswa Sekolah Dasar. 

Sehingga yang beragama non-Muslim, mau tidak mau mengikuti membaca surah Alfatihah atau sekedar menyimak doa yang tidak mereka kenal. Atau, pada saat upacara hari Senin, siswa non-Muslim harus mengikuti doa dalam bahasa Arab (tanpa ada terjemahan bahasa Indonesia), sebelum upacara pengibaran bendera selesai. Belum lagi serangan verbal atau perlakuan yang tidak sama yang sering diterima oleh siswa yang berbeda agama.

Bentuk-bentuk diskriminasi atas nama agama di sekolah adalah bentuk ketidakadilan yang dipertontonkan di sekolah. Tempat di mana ilmu dan pengalaman di tempa dan ditimba. Apalagi, saya juga beberapa kali membaca informasi dari koran nasional, bahwa siswa-siswi Muslim di Bali, NTT, Ambon, dan Papua kurang lebih mempunyai pengalaman yang serupa yang dirasakan oleh anak-anak di sekolah kami yang non-muslim. 

Bahkan pernah beberapa kali saya baca dari berita baik cetak, online, maupun elektronik, bahwa siswi di Bali dilarang mengenakan hijab di sekolah. Hal ini jelas, bahwa diskriminasi antara mayoritas ke minoritas masih terjadi di Indonesia terutama di tingkat sekolah.

Sebenarnya berdasarkan pengamatan yang saya lakukan baik dari sekolah-sekolah yang pernah saya ajar, atau dari berita dari media masa, saya dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya diskriminasi yang terjadi bukanlah diskriminasi Islam terhadap Kristen, atau Hindu terhadap Islam, atau Kristen terhadap Islam. Akan tetapi lebih kepada Mayoritas mendapatkan privilege atau hak istimewa terhadap minoritas (Seifert, 2007). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun