Adzan dzuhur baru saja berakhir dari Masjid Agung Indramayu yang hanya beberapa meter tempat kami duduk saat itu. Tetapi tidak berlanjut dengan iqomah, mungkin terlalu bising oleh tetabuhan anak-anak yang memukul berbagai benda bak music perkusi.
Sepuluhan anak usia 8 sampai 12 tahun tak henti membunyikan benda-benda yang mudah dijangkaunya. Kaleng-kaleng minuma, seng gerobak, pagar bamboo kios atau bahkan tiang kayu bangunan Pemda yang diperuntukan untuk berjualan di sisi Sungai Cimanuk itu. Di depan mereka, sepasang anak seusianya sedang asyik memadu Cinta Monyet. Banyak kata terucap dari mulut-mulut kecil itu tetapi pasangan itu seakan tak peduli walau akhirnya memutar haluan motor yang ditumpangi dan tancap meninggalkan anak-anak yang mengitarinya.
Gagal mengoda mangsanya mereka beralih tempat, yang menjadi sasaran berikutnya adalah sebuah gerobak penjual minuman ringan. Tertutup rapat karena hanya buka menjelang sore sampai malam hari. Hentakan kayu di tutup seng-nya terdengar sangat keras seiring semangat kelompok anak-anak untuk makin menabuhnya. Kelihatannya, semua orang yang ada di situ sudah familiar dengan ulah mereka. Beberapa pedagang yang kebetulan sedang bersih-bersih dan menyiapkan dagangan juga tak merasa terganggu.
Tetapi, simfoni liar minggu siang bolong itu tiba-tiba berhenti. Salah seorang diantara mereka tiba-tiba mengeluarkan minuman kaleng dari kios-roda yang tadi ditabuhi. Disusul dengan yang lain, berebutan. Ada juga yang merelakan kaos yang dikenakannya untuk wadah dan segera lari.
Penjarahan itu baru berhenti ketika terdengar teriakan, “Pencuri! Pencuri !”
Mereka berlarian, tetapi tanpa rasa takut mengambil kembali beberapa kaleng dan botol minuman yang tercecer.
Ada yang aneh, seorang bertubuh paling besar dan tambun, hanya diam, tenang, tak ada kesan takut atau rasa bersalah. Dengan tenang dia melihat sekitar, tanpa sebuah keleng atau botol jarahan, dia pergi mengikuti mereka yang terlebih dahulu terbirit lari.
Penjarahan di siang bolong ini sungguh unik, karena kios-roda yang dijarah letaknya hanya 20 meter disamping Pos Polisi Alun-alun yang bertengger megah, tepat di depan Pos Polisi itu sendiri berjejer beberapa motor. Dan, jalan setapak yang dilalui para penjarah cilik itu melarikan diri adalah tepat dibelakang Pos Polisi sampai melintas jembatan gantung dan akhirnya mereka dengan aman tenteran menikmati minuman tersebut di tepian Sungai Cimanuk.
Lebih uniknya lagi, seakan tidak ada orang yang peduli dengan pembongkaran kios-roda itu. Seorang pedagang yang sedang mempersiapkan jualannya sekalipun tetap kelihatan asyik dengan tugas rutinnya. Sementara Pos Polisi yang halaman depannya dipenuhi motor, pintu dan jendelanya tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Ironisitas ini menyebabkan mereka, para maling cilik untuk sementara aman, menikmati barang jarahan yang secara financial tidaklah seberapa. Sisi Sungai Cimanuk yang tak lagi mengalirkan air itu menjadi saksi kenikmatan dan kepuasan yang mereka rasakan.
“Maling…! Maling …! Maling …!”