Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momentum untuk menengok kembali jejak teladan seorang pemimpin agung yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nilai esensial dari peringatan ini bukan sekadar pada seremonial atau perayaan lahiriah, melainkan pada refleksi mendalam tentang bagaimana umat meneladani sosok yang membawa misi keadilan, kejujuran, dan rahman~ rahim (pengasih dan penyayang) dalam kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia saat ini, refleksi itu terasa semakin mendesak. Sebab bangsa ini sedang didera oleh apa yang bisa disebut sebagai pandemik korupsi. Hampir setiap lini kehidupan, dari lembaga negara hingga sektor pelayanan publik, dipenuhi berita tentang praktik suap, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ironisnya, korupsi justru berkembang di tengah jargon pembangunan dan modernisasi, seolah-olah bangsa ini bergerak maju tetapi tanpa fondasi moral.
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, ia adalah pengkhianatan terhadap nilai spiritual yang paling mendasar: amanah. Nabi Muhammad SAW pernah menegaskan bahwa hilangnya amanah adalah tanda kehancuran suatu umat. Amanah adalah inti dari kepemimpinan, baik dalam skala kecil seperti rumah tangga maupun dalam skala besar seperti pemerintahan. Ketika seorang pejabat menyalahgunakan wewenangnya, ia bukan hanya merugikan negara secara finansial, melainkan juga merusak tatanan kepercayaan sosial.
Momentum Maulid Nabi mengingatkan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah berakar pada integritas. Beliau dikenal sebagai al-Amin, sosok yang dipercaya bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi. Gelar itu bukan lahir dari propaganda, tetapi dari konsistensi sikap jujur dan adil yang nyata dirasakan oleh masyarakat. Bandingkan dengan kondisi kita sekarang: banyak pemimpin justru mengandalkan pencitraan, tetapi di balik layar terjerat kasus gratifikasi dan nepotisme.
Dalam konteks ini, peringatan Maulid seharusnya menjadi alarm moral. Umat Islam, yang mayoritas di negeri ini, dituntut untuk tidak hanya merayakan kelahiran Nabi dengan lantunan shalawat, tetapi juga menjadikan nilai kejujuran dan amanah sebagai gerakan sosial. Jika Nabi datang membawa risalah liutammima makarimal akhlaq (untuk menyempurnakan akhlak), maka relevansi peringatan Maulid di Indonesia hari ini adalah bagaimana nilai itu bisa menjadi senjata menghadapi pandemik korupsi.
Korupsi tidak bisa diberantas hanya dengan regulasi dan lembaga penegak hukum yang rapuh. Ia butuh revolusi moral, yang dimulai dari keteladanan pemimpin dan kesadaran masyarakat untuk menolak praktik curang dalam kehidupan sehari-hari. Nabi menunjukkan bahwa membangun umat bukan semata soal strategi politik, melainkan soal keteguhan akhlak.
Maka, esensi Maulid Nabi saat ini adalah mengembalikan bangsa pada semangat keteladanan Rasulullah: jujur dalam perkataan, amanah dalam tanggung jawab, adil dalam keputusan, dan sederhana dalam gaya hidup. Tanpa itu, bangsa ini akan terus terjebak dalam lingkaran korupsi, dan peringatan Maulid hanya akan menjadi ritual kosong tanpa daya ubah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI