Teknologi: Terlambat Berinovasi di Era Digital
Ketika retail modern mulai terintegrasi dengan e-wallet, aplikasi pemesanan online, hingga big data, Sevel khususnya di Indonesia masih berjalan secara konvensional. Tidak ada aplikasi loyalty pelanggan, tidak ada promo berbasis data, bahkan kerja sama dengan layanan antar makanan pun sangat minim.
Kompetitor seperti Alfamart dan Indomaret justru semakin menguat dengan kemitraan digital dan logistik yang lebih canggih. Ketertinggalan teknologi ini menjadi pukulan telak di tengah perubahan perilaku belanja masyarakat pasca-2015.Â
Lemahnya penguasaan teknologi bukan hanya karena tidak berinovasi, tapi juga karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Sevel di Indonesia beroperasi dengan modal yang terlalu kecil untuk skala operasional yang besar---membuat pembaruan teknologi menjadi impian yang tak pernah terealisasi.
Kepemimpinan: Visi Besar yang Tak Dibekali Eksekusi
Ekspansi agresif di awal justru menjadi bumerang bagi Sevel. Biaya operasional membengkak, sementara manajemen tidak siap menghadapi tekanan eksternal seperti regulasi, penurunan daya beli, dan persaingan ritel yang ketat. Sayangnya, tidak ada langkah strategis yang diambil untuk mengatasi krisis. Retrenchment seperti menutup gerai tidak produktif atau merampingkan operasional tak segera dilakukan.
Ketika rencana akuisisi oleh Charoen Pokphand gagal pada 2017, Sevel juga tak memiliki strategi cadangan. Padahal sejak 2015, berbagai analisis menyarankan perubahan arah ke strategi penetrasi pasar yang lebih terfokus. Namun lemahnya kepemimpinan dan absennya transformasi membuat Sevel kehilangan momentum untuk bertahan.
Bukan Soal Gagal, Tapi Tak Mau Berubah
Runtuhnya Sevel di Indonesia bukan hanya soal pasar yang ketat atau regulasi yang berubah. Banyak perusahaan menghadapi tantangan serupa, namun mampu bertahan karena mereka mau beradaptasi. Sevel justru terlalu kaku mempertahankan formula global yang sukses di negara lain, tanpa penyesuaian berarti terhadap karakter pasar lokal Indonesia yang dinamis dan sangat sensitif terhadap perubahan tren serta harga.
Alih-alih berevolusi, Sevel tetap berada di zona nyaman dan gagal memperhatikan kebutuhan pelanggannya. Ketika selera lokal mulai berubah dari makanan kekinian hingga gaya hidup serba digital---Sevel tidak bergerak cepat. Visi besar tanpa keberanian untuk menyesuaikan diri hanya menjadi beban. Dan bagi Sevel, beban itulah yang akhirnya menggiringnya pada titik tutup total.
Referensi :
Yuliani, Ari & Susanto, Eko H. (2019). Pentingnya Strategi Bisnis yang Tepat dalam Kasus Penutupan Sevel. Jurnal Manajemen Bisnis dan Kewirausahaan.
Alwi, K. et al. (2021). Analisis Kegagalan Implementasi Manajemen Strategi pada Kasus Tambusai.
Wisnuwardhana, G. (2023). Analisis Konsep dan Strategi Pemasaran terhadap Penutupan Gerai 7-Eleven di Indonesia. HUMANIS, Vol. 3 No. 2.
Chandra, J., Syailendra Putra, M. R., & Gunardi Lie. (2023). Makalah Penelitian Terhadap Kasus Kebangkrutan Toko Seven-Eleven (7-Eleven) di Indonesia. QISTINA, Vol. 2 No. 2.
Anisah. (2012). Strategi Adaptasi Convenience Store: Studi Kasus 7-Eleven di Indonesia. Tesis, Universitas Airlangga.
Berbagai sumber media: Detik Finance, Tempo Bisnis, Liputan6 Bisnis, Kumparan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI