Sebagai proyek non-APBN, sejak awal Kereta Cepat Whoosh memang dirancang untuk mandiri secara finansial melalui skema business-to-business (B2B). Artinya, segala risiko finansial dan tanggungan pinjaman menjadi tanggung jawab konsorsium KCIC, bukan negara. Bila APBN ikut campur dalam pembiayaan utang, hal ini justru akan menyalahi prinsip awal proyek dan membuka preseden buruk bagi proyek-proyek investasi lainnya.
Namun perlu digaris bawahi Penolakan pendanaan dari APBN tidak berarti jalan buntu bagi KCIC. Justru, ini adalah momen bagi perusahaan untuk melakukan restrukturisasi pendanaan dan menata kembali model bisnisnya. Termasuk mengingat kembali adanya Danantara yang memegang seluruh dividen BUMN yang nilainya disebut bisa mencapai 80 triliun per-tahun (kompas.com,13/10/2025).Â
"Kalau sudah dibuat Danantara, kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih, harusnya mereka manage dari situ. Jangan ke kita lagi (Kemenkeu)," ujar Purbaya dalam Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jumat (10/10/2025).
Keputusan Menteri Keuangan untuk tidak mengizinkan penggunaan APBN dalam menutup utang KCIC memang terdengar pahit, namun secara rasional dan ekonomi merupakan langkah yang benar. Proyek sebesar Whoosh perlu membuktikan bahwa investasi infrastruktur dapat mandiri dan berkelanjutan tanpa membebani rakyat.
Kini bola berada di tangan KCIC. Apakah mereka mampu beradaptasi, memperbaiki strategi keuangan dan pemasaran, serta membangun citra baru sebagai proyek nasional yang benar-benar produktif?
Ke depan, keberhasilan Whoosh bukan hanya soal kecepatan perjalanan Jakarta--Bandung, tapi kecepatan KCIC dalam bertransformasi menjadi bisnis transportasi yang efisien, kreatif, dan berorientasi pasar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI