Palu dan Donggala - menjadi saksi bisu dari salah satu bencana paling kompleks dalam sejarah Indonesia. Gempa bumi berkekuatan 7,4 SR yang disusul oleh tsunami dan likuefaksi pada 2018 bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik masif, tetapi juga membuka luka dalam tata kelola penanggulangan bencana nasional. Di balik reruntuhan, tersimpan pelajaran penting tentang kegagalan sistemik dan perlunya reformasi mendalam.
Peringatan Dini yang Tak Mampu Menyelamatkan
Salah satu titik kritis terletak pada kegagalan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS). Berbeda dari skenario umum, tsunami di Teluk Palu dipicu oleh longsor bawah laut yang tidak terdeteksi oleh sistem standar. UNESCO-IOC dan UNDRR mencatat bahwa tsunami menghantam kurang dari 10 menit setelah gempa, jauh sebelum BMKG mampu mengeluarkan peringatan efektif. Ketidaksiapan dalam menghadapi skenario lokal yang kompleks ini menunjukkan kelemahan mendasar dalam sistem mitigasi nasional.
Koordinasi Terfragmentasi dan Mentalitas Sektoral
Fase tanggap darurat hingga rekonstruksi pasca-bencana diwarnai oleh kegagalan koordinasi antar lembaga. Meski BNPB memiliki mandat sebagai koordinator utama, kolaborasi lintas aktor, termasuk pemerintah daerah, militer, dan LSM gagal terjalin secara sinergis. Hasilnya:
- Terjadi tumpang tindih peran dan distribusi bantuan, serta kemacetan logistik akibat mentalitas silo.
- Ketimpangan distribusi sumber daya, di mana beberapa wilayah menerima bantuan berlebih sementara lainnya kekurangan.
- Kompetisi antar lembaga menyebabkan pemborosan anggaran dan sulitnya pencapaian Standar Pelayanan Minimum (SPM).
Studi global menekankan pentingnya forum koordinasi lokal dan kehadiran penghubung batas (boundary spanner) sebagai jembatan antar kepentingan. Sayangnya, elemen ini sangat minim di Palu.
Pemulihan yang Tertunda dan Janji yang Belum Terpenuhi
Program strategis seperti relokasi hunian tetap (Huntap) dan rehabilitasi ekonomi produktif terhambat oleh birokrasi yang rumit dan berakhirnya masa berlaku dokumen hukum seperti R3P dan Inpres pada 2024. Evaluasi pemerintah menyebutkan bahwa banyak program terhenti karena landasan hukum pelaksanaannya tidak lagi berlaku, memperkeruh status administrasi pemulihan.
Dampaknya sangat nyata:
- Pemulihan ekonomi berjalan lambat, dengan infrastruktur pertanian dan usaha mikro belum sepenuhnya pulih.
- Kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas sering kali terabaikan dalam skema bantuan, memperparah trauma sosial.
Mendesak: Reformasi Tata Kelola Penanggulangan Bencana
Bencana Palu menjadi titik balik yang menegaskan perlunya transformasi dari birokrasi konvensional menuju tata kelola kolaboratif yang adaptif. Beberapa langkah reformasi yang diusulkan antara lain:
- Pengembangan platform kolaboratif berbasis pentahelix, melibatkan pemerintah, komunitas, swasta, media, dan akademisi.
- Penguatan peran boundary spanner sebagai mediator antar sektor.
- Perumusan kebijakan adaptif yang mampu mengintegrasikan prosedur tanggap darurat dengan sistem birokrasi reguler secara fleksibel.