Mohon tunggu...
Dini Fadhila
Dini Fadhila Mohon Tunggu... mahasiswa

Mahasiswa Administrasi Publik Fisip Unmul

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tragedi Palu 2018: Cermin Kegagalan Tata Kelola Bencana dan Urgensi Reformasi Sistemik

12 Oktober 2025   20:37 Diperbarui: 12 Oktober 2025   20:37 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Palu dan Donggala - menjadi saksi bisu dari salah satu bencana paling kompleks dalam sejarah Indonesia. Gempa bumi berkekuatan 7,4 SR yang disusul oleh tsunami dan likuefaksi pada 2018 bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik masif, tetapi juga membuka luka dalam tata kelola penanggulangan bencana nasional. Di balik reruntuhan, tersimpan pelajaran penting tentang kegagalan sistemik dan perlunya reformasi mendalam.

Peringatan Dini yang Tak Mampu Menyelamatkan

Salah satu titik kritis terletak pada kegagalan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS). Berbeda dari skenario umum, tsunami di Teluk Palu dipicu oleh longsor bawah laut yang tidak terdeteksi oleh sistem standar. UNESCO-IOC dan UNDRR mencatat bahwa tsunami menghantam kurang dari 10 menit setelah gempa, jauh sebelum BMKG mampu mengeluarkan peringatan efektif. Ketidaksiapan dalam menghadapi skenario lokal yang kompleks ini menunjukkan kelemahan mendasar dalam sistem mitigasi nasional.

Koordinasi Terfragmentasi dan Mentalitas Sektoral

Fase tanggap darurat hingga rekonstruksi pasca-bencana diwarnai oleh kegagalan koordinasi antar lembaga. Meski BNPB memiliki mandat sebagai koordinator utama, kolaborasi lintas aktor, termasuk pemerintah daerah, militer, dan LSM gagal terjalin secara sinergis. Hasilnya:

  • Terjadi tumpang tindih peran dan distribusi bantuan, serta kemacetan logistik akibat mentalitas silo.
  • Ketimpangan distribusi sumber daya, di mana beberapa wilayah menerima bantuan berlebih sementara lainnya kekurangan.
  • Kompetisi antar lembaga menyebabkan pemborosan anggaran dan sulitnya pencapaian Standar Pelayanan Minimum (SPM).

Studi global menekankan pentingnya forum koordinasi lokal dan kehadiran penghubung batas (boundary spanner) sebagai jembatan antar kepentingan. Sayangnya, elemen ini sangat minim di Palu.

Pemulihan yang Tertunda dan Janji yang Belum Terpenuhi

Program strategis seperti relokasi hunian tetap (Huntap) dan rehabilitasi ekonomi produktif terhambat oleh birokrasi yang rumit dan berakhirnya masa berlaku dokumen hukum seperti R3P dan Inpres pada 2024. Evaluasi pemerintah menyebutkan bahwa banyak program terhenti karena landasan hukum pelaksanaannya tidak lagi berlaku, memperkeruh status administrasi pemulihan.

Dampaknya sangat nyata:

  • Pemulihan ekonomi berjalan lambat, dengan infrastruktur pertanian dan usaha mikro belum sepenuhnya pulih.
  • Kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas sering kali terabaikan dalam skema bantuan, memperparah trauma sosial.

Mendesak: Reformasi Tata Kelola Penanggulangan Bencana

Bencana Palu menjadi titik balik yang menegaskan perlunya transformasi dari birokrasi konvensional menuju tata kelola kolaboratif yang adaptif. Beberapa langkah reformasi yang diusulkan antara lain:

  • Pengembangan platform kolaboratif berbasis pentahelix, melibatkan pemerintah, komunitas, swasta, media, dan akademisi.
  • Penguatan peran boundary spanner sebagai mediator antar sektor.
  • Perumusan kebijakan adaptif yang mampu mengintegrasikan prosedur tanggap darurat dengan sistem birokrasi reguler secara fleksibel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun