Dinia Salamah,Universitas Pamulang diniasalamah048@gmail.com
Nova Apriani,Universitas Pamulang novaapriani1911@gmail.com
"Refleksi Realitas Ekonomi Digital bagi Dunia Pendidikan dan Pilihan Karier Anak Muda."
Dalam lima tahun terakhir, dunia digital kerap disebut sebagai masa depan ekonomi Indonesia. Pemerintah mendorong digitalisasi UMKM, para pemuda berlomba membangun startup, dan investor asing membanjiri sektor teknologi. Narasi bahwa ekonomi digital adalah penyelamat masa depan berkembang begitu kuat, terutama di kalangan generasi muda.
Namun, situasi kini berubah drastis. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menghantam startup-startup digital, dari yang masih tumbuh hingga unicorn yang dulu dielu-elukan. Budaya kerja fleksibel yang sempat dipuja, kini dibayangi oleh ketidakpastian dan ancaman kehilangan pekerjaan. Harapan generasi muda untuk berkarier di dunia digital perlahan mulai retak.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran per Februari 2025 tercatat sebesar 6,1%, meningkat dari tahun sebelumnya. Salah satu penyumbang signifikan adalah sektor teknologi yang selama ini dianggap sebagai magnet utama bagi lulusan baru dan pekerja terdidik. Kini, banyak anak muda yang semula bercita-cita membangun karier di dunia startup, dihadapkan pada kenyataan pahit: mimpi digital tak selalu berakhir indah.
Apa yang Salah dengan Ekosistem Startup?Â
Krisis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Setidaknya ada lima faktor utama yang memicu keruntuhan berbagai startup di Indonesia:
1. Ketergantungan Berlebih pada Dana Investor
Model bisnis yang terlalu bergantung pada pendanaan eksternal membuat banyak startup tak berdaya saat aliran dana berhenti. Strategi "bakar uang" untuk menarik pelanggan melalui diskon besar dan subsidi ongkir memang efektif di awal, tapi tidak berkelanjutan. Ketika investor mulai menahan diri akibat krisis global, PHK menjadi langkah cepat untuk mengurangi beban operasional.
2. Ekspansi Agresif Tanpa Analisis Mendalam
Banyak startup tergoda untuk berekspansi terlalu cepat. Mereka membuka cabang di berbagai kota atau meluncurkan banyak fitur, tanpa riset pasar yang memadai. Contohnya, sejumlah platform edutech yang naik daun saat pandemi, mengalami penurunan drastis ketika pembelajaran tatap muka kembali normal. Ketidaksiapan dalam merespons perubahan ini menunjukkan lemahnya strategi bisnis jangka panjang.