Mohon tunggu...
Adisiana
Adisiana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Orang Bodoh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Manusia yang Tak Keluar dari Kamar

22 Mei 2018   03:17 Diperbarui: 23 Mei 2018   19:17 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (pixabay)

Sudah lebih dari seratus hari berkabung. Lebih dari seratus hari pula semua barang yang ada di dalam kamar tak tersentuh, kecuali kasur yang sudah kempis di bagian tengah lantaran menopang tubuh manusia yang tampak sudah hilang akal. 

Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur sepanjang hari. Ia bisa tidur berhari-hari kemudian tidak tidur berhari-hari. Matanya menatap langit-langit, kemudian terpejam. Setelah bangun, ia kembali menatap langit-langit kamar kemudian meneteskan air mata.

Sejujurnya hari-harinya adalah air mata sejak lebih dari seratus hari yang lalu. Kain sprei pembungkus kasur itu sudah basah dan kering berulang kali dari hari ke hari. Manusia itu larut dalam kabung. 

Bukannya tak mau keluar dari kesedihan itu, tapi ia tak tahu bagaimana caranya keluar. Ia buntu. Dan satu-satunya yang bisa dilakukan manusia adalah menelan segala ungkapan tentang perjumpaan yang berpasangan dengan perpisahan, mau tak mau, suka tak suka harus menerima meski dengan segala kebencian yang ada.

Manusia selalu mempertanyakan mengapa kepada Tuhan. Apa sebab manusia dipertemukan jika untuk dipisahkan? Kepergian menjadi suatu hal yang dibenci manusia, sebab sesungguhnya kedatangan itu tak pernah ia harapkan. 

Apalah takdir? Apa pula ketentuan? Manusia tak pernah benar-benar mengerti jalan hidup. Karena sesungguhnya ia tak pernah meminta untuk dihidupkan, dilahirkan. Apalah hidup ini?

Manusia sudah lama tak membuka peta. Mungkin itu sebabnya ia tak mampu beranjak kemana-mana setelah lama mendekam di dalam bilik yang penuh uap kemurungan. 

Bukannya tak mau membuka peta untuk mencari jalan keluar, tapi ia sudah lama tak bisa membaca. Tak mampu membaca karena sebetulnya ia sudah buta. Sesuatu yang ia tangkap lewat matanya hanya gelap. Lebih dari seratus hari yang lalu ia pernah buta. Dan kebutaan itu awet hingga kini. Buta membuatnya tak mampu melihat apapun. Kebutaan yang barangkali menjadi abadi.

**

Agak sulit mendeskripsikan keadaannya. Sebab bila dikatakan hilang akal, sesungguhnya dalam hidup yang penuh kemurungan itu ia sedang dijerat oleh akalnya sendiri, oleh pikiran dan ingatan-ingatan. Manusia itu seperti seonggok jasad yang jiwanya tercerai berai. Barangkali tubuhnya memang sedang direbahkan di atas kasur yang sudah kempis itu, tapi pikirannya, angan-angannya berada di tempat lain. Selalu berpindah-pindah sesuai dengan kenangan yang melintas di kepalanya.

Betapa jahatnya pertemuan itu. Bisakah kita melepas rantai yang menghubungkan perjumpaan dan perpisahan agar tak saling bertautan? Banyak jiwa yang berakhir sia-sia akibat perjumpaan karena tak sanggup menerima perpisahan. Manusia itu kini sebentar lagi akan menuju kesia-siannya. Sebab pikiran manusia sudah dipenuhi upaya penyelesaian, ia terus berpikir untuk menyudahi kepedihan itu dengan cara menemui kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun