Tuhan menyuruhku menulis lagi. Ia memintaku mengadu dengan khusyuk dan  serius. Kalau menulis tentu harus fokus, tidak bisa sembarang tulis.  Merangkaikan kata demi kata, menyelaraskan makna per makna. Itu semua  demi Tuhan. Paling spesial aku buatkan.
Tapi sedikit aku ingin jujur, Tuhan. Aku sebenarnya sedang malas  menulis. Pikiranku sedang berkabut dan jari-jariku sedang linu. Tapi  Tuhan seperti memaksaku.
 "Kau harus menulis! Tuliskan semuanya! Tulis yang benar!" begitu  perintah Tuhan. Ya sudah akan aku buatkan. Demi Tuhan, ini paling  spesial
Demi menghasilkan karya tulis yang spesial, aku butuh lokasi khusus.  Tuhan tentu tahu, kalau menulis butuh ketenangan. Maka  dalam perjalanan  untuk mengasingkan diri, di suatu malam, aku berhenti di pasar  kelontong, tampak tak ada lagi aktivitas jual beli. Tiap-tiap los telah  lengang dan sepi. Aku duduk di emperan toko. Duduk bersila sembari  mengamati semut-semut hitam hilir mudik di depanku. Seperti pawai  penyambut tamu, semut-semut itu berbaris dan berganti-ganti formasi.
Malam itu di hadapan semut-semut yang berbaris rapi aku menangis.  Awan-awan mendung di kepalaku memaksa air mata untuk turun layaknya  hujan. Begitu deras. Namun tetap aku biarkan. Menangis satu-satunya cara  serta bahasa yang melambangkan ketidakmampuanku untuk berbuat sesuatu.  Berbuat sesuatu untuk menghadirkan bahagia untuk diriku. Sementara satu  dua orang lewat di hadapanku, memperhatikan dan mungkin heran. Ada apa  gerangan anak perempuan menangis di emperan jelang tengah malam.
Di hadapan para semut, aku meratapi betapa malangnya anak manusia yang  terasing ini. Anak manusia tak berumah, mungkin berumah tapi tak  beratap. Beratap pun masih diguyur hujan. Hujan berkepanjangan.  Malam-malamnya selalu dingin. Ketika semua orang pergi tidur dan  terlelap, ia terjaga menyelamatkan diri jika sewaktu-waktu malam dingin  menjadikannya beku.
 **
Di suatu malam, Tuhan berbisik dan memerintahkan untuk menuliskan  semuanya. Semacam surat cinta atau mungkin surat lamaran menjadi seorang  hamba. Sehari-hari hidupnya kosong. Lengang tak berkesudahan.
Malam itu di pinggiran jalan, tinta pena rupanya membeku. Terlanjur  kalah oleh dingin yang lebih dulu benci pada perempuan itu.  Kertas-kertas berserak beterbangan. Seperti ikut serta tertawa bersama  angin. Melambaikan lambang kemalangan sekaligus kebodohan.
Kini ia meringkuk di antara los-los toko. Di lantai penuh debu, ia coba  menulis sesuatu. Tapi anjing sialan datang dan mengencingi debu-debu  itu.
"Tuhan, dengan cara apa mesti kutulis?"