"Hmm.."
"Nah lhoo. Kenapa toh?" Pak Budi membaca sesuatu dari wajah Sindi.Â
"Heh. Jangan bilang kamu gak ada yang hapal lagu wajib lho ya!!!"Â
"Maaf Pak. Saya banyak yg gak hapal."
"Waduh. Gawat. Lagu Indonesia Raya deh kalo gitu. Ayo cepetan. Ini gak mungkin gak hapal. Setiap upacara dinyanyikan."
Sindi mulai bernyanyi, namun di pertengahan ia salah lirik. Saat itu juga wajah Pak Budi berubah menjadi merah. Dan meminta Sindi untuk berhenti bernyanyi. Saya tahu bahwa ini adalah kabar buruk. Pak Budi marah besar. Ia beranjak dari posisinya kemudian berjalan ke belakang. Ia menatap siswanya satu per satu. Sindi ketakutan dan masih berdiri mematung di depan kelas.Â
"Ini generasi zaman sekarang?! Ini yang bakal jadi penerus bangsa?! Jangan bilang bahwa kalian sama seperti dia yang tidak hapal lagu kebangsaan sendiri?! Angkat tangan yang tidak hapal. Saya ingin melihat berapa banyak generasi rusak di sini. Jujur! Angkat tangan! Atau akan saya tes satu per satu."Â
Saya berharap tidak ada yang tidak hapal. Sebab memang yang terlihat apatis terhadap negaranya sendiri adalah Sindi. Ia terlalu terlena dengan budaya asing yang dicintainya, Korea. Namun ternyata Sindi tidak sendirian. Ada lagi 2 siswa yang tidak hapal. Satu lelaki dan satu perempuan. Mereka menundukkan kepala.Â
"Saya hari ini akan mengajarkan kalian Ideologi Negara. Dasar Negara! Pondasi agar tegak kokoh berdirinya negara ini. Kamu! Sebutkan sila ketiga." Tiba - tiba menunjuk salah satu siswa yang duduk di barisan nomor 2 dari depan.Â
"Keadilan yang beradab." Jawabnya terbata - bata.
Saya kaget sekaget - kagetnya. Bagaimana mungkin? Perkara ini pasti akan semakin besar dan berlanjut. Dan benar saja. Pak Budi marah sejadi - jadinya. Sila ketiga Persatuan Indonesia, berubah menjadi Keadilan yang beradab. Memang sudah gawat. Bangsa ini gawat.Â