Mohon tunggu...
dinda pranata
dinda pranata Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger, Book Enthusias, Translator Bahasa Jepang

Ibu Rumah Tangga yang suka nulis. Punya motto "yang penting coba dulu". Baca buku bukan cuma buat gaya-gayaan tapi gaya hidup. Find me at www.senjahari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi Akan Mati Tanpa Regulasi, Lantas Mau Apa?

28 Agustus 2021   21:19 Diperbarui: 28 Agustus 2021   21:53 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bicara tentang demokrasi kita pasti akan merujuk pada kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan segala kebebasan yang lain. Tapi apakah demokrasi dalam berekspresi perlu pembatasan? Jawabannya iya. Tapi bukankah kalau kebebasan dibatasi bukan bermakna demokrasi lagi? 

Demokrasi Bukan Asal Bebas Sebebas-bebasnya.

Pernah membaca salah satu buku berjudul Man Search For Meaning? karya Victor Frankl Kebebasan ini sebenarnya pernah disinggung dalam buku. Buku ini salah satu karya terbaik yang mampu membuka mata tentang apa itu kebebasan yang masuk akal. Sekilas saja yang pernah baca pasti tahu dengan kalimat ini. "kebebasan bukan berarti benar-benar bebas, kebebasan tanpa tanggung jawab justru bisa berbahaya." Mengutip dari buku ini kita dibawa pada realita bahwa sebenarnya kebebasan itu terbatas dan memang benar.

Terkadang orang masih bias dengan apa yang namanya kebebasan. Bebas menurut orang terkadang masih dengan cara-cara yang kurang elegan seperti menyinggung pihak lain, melukai orang lain dan sebagainya. Jika cara itu kembali ke kita, sanggupkah kita menghadapi gempuran kebebasan yang melukai itu? Mungkin sanggup dan mungkin juga tidak. 

Bukahkah kita tidak bertanggung jawab atas respon orang lain pada saat kita mengkritiknya, lalu apa masalahnya? Kita memang tidak bertanggung jawab atas respond orang lain, tapi kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri. Demokrasi bukan hanya tentang bebas mengkritik, memberikan tanggapan, berpendapat, tetapi juga kemauan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi demokrasi itu.

Seni Kritik Yang Cerdas

Mengkritik seseorang bahkan pemerintah, bukan asal dengan ajukan kritik, sindir sana sini, singgung sana sini bahkan melukai pihak tertentu. Ada hal yang perlu dipertimbangkan jika kita mau menjadi insan cerdas, kritis dan beretika. Hal yang perlu dilakukan kenali konteks kritik jika itu presiden kenali masalah yang ingin dikritik. Lalu lihatlah dari berbagai sisi, sisi presiden, birokrasi dan sisi warga. Kemudian lihat sekeliling presiden, aparatur, pegawai instansi, menteri, hingga warga. Kita akan melihat kenyataan bahwa ketika atasan dalam hal ini presiden memberikan instruksi, belum tentu bawahan bisa merespon cepat instruksi itu. Bisa jadi bawahan tidak fleksibel, kurang adaptif dan susah move on dari cara lama. Lalu apakah ini salah presiden atau kita yang terburu-buru menilai? Kenyataannya tidak semudah itu menilai kan.

Seni kritik yang cerdas bukan hanya melihat berbagai aspek, dan peka terhadap sekitar tetapi juga aktif memberikan saran sebagai solusinatas masalah. Nyatanya solusi inilah yang lebih membantu dibandingkan hanya denhan omong besar tanpa solusi. Apakah kita yang menghadapi masalah bisa menyelesaikan masalah hanya dengan kritik tanpa solusi? Rasanya mustahil bukan. Kritik beretika tidak dengan cara mengolok-olok pihak tertentu tetapi aktif menawarkan solusi di dunia nyata.

Pintu Yang Perlu Diketuk

Isu penghapusan mural yang tidak pantas dibeberapa daerah mencuat begitu cepat. Peran polisi, hakim serta penegak hukum sangat diperlukan untuk meninjau seobyektif mungkin. Apa ada motif dibaliknya, atau hanya sekedar ikut-ikutan ataukah memang ingin menunjukkan seni walau caranya kurang elegan. 

Dalam mengkritik ada beberapa pintu yang perlu diketuk seperti pintu etika, norma, moral dan hukum. Seni mural yang bukan murni diperuntukkan untuk seni perlu mengetuk pintu-pintu ini. Apakah mural atau seni yang dibuat sudah sesuai dengan norma, hukum, moral atau etika yang baik. Tanpa mengetuk pintu itu kebablasan demokrasi justru menjadi anarki. Lalu apa jadinya negeri ini?

Kenyataan memang tidak semanis impian yang meletakkan dasar demokrasi sebebas bebasnya, Nyatanya demokrasi pun tetap dibatasi dengan aturan dan konsekuensi yang ada.  Mari jadi pribadi yang mau belajar seni mengkritik dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun